yoldash.net

Samsul Jais Saksi Sejarah Perubahan Bola Voli Indonesia

Samsul Jais menyebut SEA Games 1997 jadi momen perubahan permainan bola voli di Indonesia, dari yang disebut total volleyball ke spesialisasi.
Semasa jadi pemain, Samsul Jais berposisi sebagai spiker di Timnas Indonesia. (Dok. Jakarta LaVani)

Jakarta, Indonesia --

Kebetulan saya dari SEA Games 1989 dapat emas, SEA Games 1991 emas juga, 1993 emas lagi, tahun 1995 emas itu lepas ke Thailand, baru SEA Games 1997 kita emas lagi.

Sebenarnya Thailand mulai pakai pelatih asing dari China sejak 1991. Tetapi di SEA Games 1991 mereka kalah sama kita, tahun 1993 juga masih kalah sama kita, nah pas 1995 saat Thailand jadi tuan rumah kita yang kalah.

Dari kekalahan itu Indonesia mendatangkan pelatih asing. Yang biasanya voli ini setiap juara dilatih oleh pelatih lokal, setelah kalah dari Thailand, kita mendatangkan pelatih asing Mr Li (Li Qiujiang) pada 1997.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dan memang saat itu Mr Li kalau bisa dibilang asli dari sana (China), jadi bengisnya dia kerasnya dia sudah gak ada duanya dengan pelatih-pelatih sekarang.

Dengan Mr Li ada perubahan pola drilling di dalam tim, ada perubahan spesialisasi. Kalau sebelumnya dengan pelatih lokal boleh dikatakan total volleyball, artinya walaupun di dalam komposisi tim itu ada quicker ada pemain open spiker, datang Mr Li itu diperjelas lagi, akhirnya timbul spesialisasi tosser, quicker, dan open spiker.

Di dalam proses latihannya ada drilling individu dan selalu diakhiri dengan game situasi, nah ini kan yang mengubah voli Indonesia menang lagi pas SEA Games 1997 di Jakarta. Ada positifnya ketika dulu dapat drilling individu dari total volleyball jadi kita makin paham, teknik kita bagus.

Game situasi yang dibuat Mr Li ini pakai poin. Jadi kita selalu berduel, spike dengan blok, tim ini dengan tim ini selalu pakai kompetisi.

Dan yang lebih gila lagi, ketika tim kalah habis itu dihukum, dengan hukuman 10 bola bagus (nanti dikonfirmasi lagi istilah hukumannya). Pemain harus ngambil bola ke mana saja yang dipukul pelatih. Itu mungkin bisa disebut latihan yang paling gila zaman Mr Li.



Karena kita takut menghindari hukuman, akhirnya maksimal dalam latihan, baik secara individu maupun secara maupun secara tim.

Kalau kena hukuman 10 bola bagus Mr Li itu tangan kita enggak ada yang lemas. Tangan, pundak ini udah kaya tukang pacul, kapalan semua.

Setiap mau latihan dengan Mr Li kita semua cari busa untuk pelindung pinggang. Kalau latihan sliding ke mana-mana kan selalu lecet-lecet, sikut ini udah gak ada yang normal.

Dan karena latihan besinya berat, kadang kita berangkat dari tempat tidur ke GOR itu jalan sudah gak normal. Kalau naik tangga itu sudah pegang-pegang tangga, karena sakit.

Gilanya lagi begitu ada proses drilling, kompetisi, yang kalah dihukum. Jalan saja sakit, ini kita disuruh nungging, dihantam sama bola basket dipukul sekeras-kerasnya, jadi yang kalah dihukum sama yang menang. Ada hukuman lompat kodok yang kalau tidak capai target malah ditambah, kalau capai target justru dikurangi hukumannya.

Pernah Loudry jatuh sampai tulang kering kelihatan putih saya mau tolong malah saya dibentak kok sama Mr Li. "Samsul lari," maksudnya biarkan saja (jangan dibantu). Itu kan salah satu membentuk mental petarung, sadar tidak sadar akhirnya terbiasa.

Analisis saya sekarang yang membuat saya paham, begitu dia datang dia ingin menumbuh kembangkan bahwa: "Saya ini atlet Indonesia yang memang di dada ini harus benar-benar mencintai Indonesia."

Mantan pemain Timnas Voli Indonesia yang juga asisten pelatih Jakarta LaVani Samsul Jais.Samsul Jais sebut kehadiran pelatih Li Qiujiang jadi faktor yang mengubah bola voli Indonesia. (Dok. Jakarta LaVani)


Di situ dia bangun daya juang kita. Selama tiga bulan empat bulan pertama latihan itu kita bukan mikir program latihan, tapi mikir: "Ini kena hukuman lagi gak ya, siapa lagi yang kena ya". Zaman Mr Li itu tidak sedikit kabur, banyak yang kabur. Latihan dua hari kabur.

Jujur kalau saya berbicara voli di Indonesia yang saya tahu, dulu zaman Pak Gugi Gustaman ada Yasuaki Mitsumori, pelatih Jepang, dan itu murni drilling individu yang latihannya lama bisa 3 jam, bisa 4 jam, karena sistem poin juga belum reli.

Nah ketemu dekade Mr Li, drilling individu ada tapi banyak game situasi. Nah sekarang ini karena saya pelaku Mr Li, karena saya yang lihat jadi paham, oh ini perbolavolian Indonesia sudah perubahan di situ, termasuk dengan Mr Li itu kita latihan fisiknya dengan latihan beban.

Setelah TC dengan Mr Li selama empat hingga lima bulan lalu ada Kejuaraan Asia Pasifik di Jepang. Indonesia bertemu Thailand. Yang waktu SEA Games 1995 kita susah sekali melawan Thailand, setelah dilatih Mr Li kita kalah tapi 2-3.

Saya bilang ke Loudry Maspaitella, "Dry sampai September nanti, kita akan menang lawan Thailand". Karena kita baru enam bulan dilatih, sementara Thailand baru dapat emas 1995 dari persiapan sejak 1991.

Nah, jadi analisis saya kita latihan enam bulan udah bisa melawan Thailand gak susah, walaupun kalah di sana. Saya bilang jadi tuan rumah akan berbanding terbalik, dan itu terbukti.

Jadi memang 97 ada perubahan di situ yang sebelumnya pelatih lokal ya kita disebut total volleyball. Kita harus bisa nyemes bola quick, bisa bola semi, bisa bola open.

Kalau Mr Li kemarin prinsipnya tim harus nilainya 10. Yang [jago] bola open oke, gak bisa bola quick. Yang [jago] bola quick, bola-bola cepat, oke gak bisa bola open, tapi bola quick-nya harus 10. Yang ketika digabung jadilah kualitas tim itu semuanya nilainya 10. Jadi kesannya di SEA Games 1997 mungkin itu, dan itu TC paling lama yang saya alami, setahun kita.

Kalau tidak salah di final SEA Games 1997 itu kita menang 3-1 lawan Thailand. Ya memang kan prestasi, performa latihan itu akan tercermin ketika dia berlatih. Kalau kita berlatih keras, berlatih bagus, berlatih dengan kualitas yang bagus baik secara individu maupun tim yakin akan bermain bagus.

Semua negara ASEAN waktu itu kayaknya dipegang pelatih China semua. Waktu itu kita tuan rumah, pemain senior semua, teknik kita sudah tinggi begitu masuk Mr Li ya sudah nyaman kita sebenarnya, tinggal mengubah bentuk pola latihan saja dari drilling ke gim situasi karena teknik kita sudah bagus.

Situasi dalam pertandingan final itu kita normal-normal saja, karena sudah terbiasa. Ujung-ujungnya adu servis, adu bola pertama, adu bola open, dan itu semua Mr Li lakukan dalam latihan. Ada adu bola open, jadi terbiasa.

Baca kelanjutan berita ini di halaman berikutnya>>>

Ceritanya saking ingin bisa bola voli, saya berlatih voli di Dolog Karawang. Biasanya sesama pemain voli tarkam sering bertemu. Saya diberitahu, dia punya paman yang membina voli di Dolog, Karawang.

Maka dari situ saya ingin ikut, yang penting berlatih dulu. Kebetulan seiring perjalanan, saya termasuk binaan Dolog Karawang yang harus memperkuat atau bergabung dengan binaan Dolog Jawa Barat di Bandung.

Cuma, ketika ketika harus gabung ke Dolog Jabar, saya pulang ke Ciamis. Saat itu pula saya daftar PNS guru dan diterima, jadi saya tidak lanjut ke Dolog Jabar. Saya dulu sekolah di SGO (Sekolah Guru Olahraga). Saya masuk SGO itu niatnya karena ingin cepat dapat kerja.

Maklum di kampung zaman dulu kan yang penting cepat dapat kerjaan. Tapi lucunya itu, awalnya saya daftar ke guru biasa di Sekolah Pendidikan Guru (SPG), namun malah masuk dapatnya di SGO.

Niatnya cepat bisa kerja PNS. Kan kalau ke SPG dulu gampang jadi guru, tapi justru saat itu lulusan SGO malah lebih dibutuhkan, karena saat itu kekurangan guru olahraga, kalau SPG itu guru umum.

Maka dari itu memang Allah sudah jalurkan saya harus berkecimpung di dunia olahraga. Ya karena saya daftar ke SPG malah dapat SGO.

Di SGO semua cabang olahraga harus bisa, karena calon guru olahraga, namun voli prioritas saya. Jadi saya belajar voli itu mulai di SGO itu. Jadi karier voli saya tidak mengenal kelompok umur 17 atau 19 tahun.

Setelah daftar guru keterima, saya dapat NIP. Kalau dulu kan jadi PNS sudah kaya apa, susah sekali jadi PNS zaman dulu. Saya juga sempat ngajar di SMP Muhammadiyah Kecamatan Kawali dan penempatan di SDN 3 Banjarwaru Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Banner Testimoni

Setelah jadi guru, ceritanya tim DLLAJR (Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya) kalau sekarang namanya Dishub (Dinas Perhubungan) mencari pemain. Dari pelatih di Dolog Karawang diberi tahu, kalau mau dapat pemain bagus cari di Ciamis yang namanya Samsul Jais. Dari situ awal mula saya masuk klub DLLAJR.

Karena masuk DLLAJR saya keluar dari dari guru. Saya keluar dari guru resmi pakai surat. Padahal dari mereka dibilang gak usah keluar, pindah saja. Tapi saya pilih jalur prestasi.

Saya milih karier di voli karena khawatir saja dengan banyak hal dalam kehidupan karena sudah terbiasa jadi atlet. Yang jelas saya ingin ambil satu dari dua pilihan, jadi fokus jalur atlet.

Dulu tim DLLAJR itu di Indonesia tim voli yang top. Saya diambil DLLAJR saat pindah ke Bandung usia 20. Karier saya voli memang telat, tapi di usia 20 setahun saya bisa menerobos Pelatnas.

Desember 1988 saya masuk DLLAJR, lalu ikut kejuaraan antarmahasiswa se-Asia Tenggara di Pattaya, Thailand, kelihatan oleh pelatih timnas, Januari 1989 saya masuk Pelatnas. Dari 1989 sampai 1998, 11 tahun saya di Timnas Voli. Pada 1998 saya dinobatkan sebagai atlet terbaik putra Jawa Barat dari seluruh cabang olahraga versi SIWO PWI Jabar.

Nah setelah keluar dari PNS sebagai guru, saya diangkat lagi jadi karyawan di DLLAJR tahun 1991 waktu SEA Games Filipina.

Baru merasakan latihan voli yang benar itu ya waktu di DLLAJR, waktu di SGO volinya biasa-biasa saja. Di DLLAJR itu saya ditangani pelatih yang istimewa yang pada zamannya bagus-bagus. Yang sampai saat ini ilmu dari mereka masih ada di otak saya.

Mantan pemain Timnas Voli Indonesia yang juga asisten pelatih Jakarta LaVani Samsul Jais.Samsul Jais saat ini jadi asisten pelatih Jakarta LaVani juga memiliki klub bola voli di Sumedang. (Dok. Jakarta LaVani)

Ada Pak Gugi Gustawan pelatih saya ada Pak Iwan Budiono. Apa yang disampaikan mereka pada 30 tahun ke belakang itu sama dengan diberikan oleh pelatih modern sekarang ini. Jujur otak saya yang kosong dijejali oleh pelatih yang bagus, akhirnya sampai sekarang saat jadi pelatih juga tidak terlalu sulit.

Dulu saya guru. Kalau guru dengan pelatih itu kan cuma beda garapannya saja. Guru itu garapannya murid, kalau pelatih garapannya atlet.

Setelah dua bulan latihan di DLLAJR kan saya masuk Timnas Voli Indonesia, persiapan untuk SEA Games 1989 di Kuala Lumpur, Malaysia. Untuk masuk Timnas SEA Games 1989 sulit sekali, karena dulu itu digjayanya Iman Agus Faisal (Fafa), Deni Hendri, Candra Halim, mereka kan belajar voli betul-betul dari junior.

Jadi di Jakarta itu pola latihannya benar-benar terorganisasi untuk jangka panjang. Sistem kompetisi mereka bagus. Waktu Pelatnas 1989 itu cuma dua pemain yang masuk, Samsul Jais dari Jawa Barat dan Jalu Dwi Prasetyo dari Jawa Timur. Yang dua-duanya ini kami memiliki usia yang lebih tua, tapi di voli kami berdua ini junior karena baru masuk.

Kalau kita benar-benar tidak punya kelebihan, susah masuk ke Timnas. Beda dengan begitu tahun 1991 apalagi 1997 itu banyak dari daerah yang masuk karena regenerasi di voli.

Awal-awal masuk Pelatnas, siapa yang gak grogi berhadapan dengan Iman Agus, Dennis Taroreh, Deni Hendri, Candra Halim, sementara kan kami dari daerah, istilahnya orang kampung. Tapi begitu masuk lagi pas 1991 sudah biasa.

Bangganya masuk Timnas Voli itu tidak terbayang. Ya saya asal dari Ciamis. Mungkin, mana ada orang Ciamis jadi pemain nasional di voli. Kedua saya baru masuk DLLAJR, baru dua bulan latihan sudah masuk ke timnas.

[Gambas:Photo CNN]

Karier saya di voli ini lucu kalau dibandingkan dengan pemain-pemain lain. Orang lain mungkin dari Porda, terpilih ke PON, masuk ke Tim Nasional. Kalau saya terbalik.

Saya gak ke Porda. Saya masuk Timnas Nasional dulu, setelah Timnas beres di Malaysia, pulang latihan dua bulan langsung ikut PON 1989. Setelah PON 1989 saya baru ikut Porda 1992.

Dan alhamdulillah dari SEA Games 1989 saya dapat emas. Keluarga saya tidak ada darah atlet. Saya lahir di Palembang besar di Ciamis. Ibu dari Ciamis, ayah yang Palembang. Orang tua saya tidak masalah saya berkarier di mana saja.

Orang tua cuma pesan apa pun kegiatannya jangan tinggalkan solat. Ketika kamu tidak solat tidak akan pernah ada berkah. Dan tolong dari kamu bisa voli harus tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Pesan lain orang tua adalah, ketika kamu sudah mampu pergilah naik haji. Alhamdulillah 2014 saya sudah haji.

Kini saya hanya fokus melatih. Saya juga punya klub binaan di SMK 2 Cimanggung Kabupaten Sumedang. Mudah-mudahan akan ada generasi baru Timnas Voli Indonesia dari klub ini. Yohanes Dedi adalah salah satu pemain yang lahir dari klub ini.

[Gambas:Video CNN]



Jalan Tak Terduga Tuhan untuk Samsul Jais

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat