yoldash.net

Rumah Doa GPdI Tarik Tak Boleh Operasi, Jemaah Ibadah di Rumah

Polemik penolakan perizinan Rumah Doa Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) di Tarik, Sidoarjo, Jatim, membuat jemaat Kristen terpaksa melakukan ibadah di rumah
Ilustrasi. Polemik penolakan perizinan Rumah Doa Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) di Tarik, Jawa Timur, membuat jemaat Kristen terpaksa melakukan ibadah di rumah. (iStockphoto/Delmaine Donson)

Surabaya, Indonesia --

Jemaat Kristen tak bisa melakukan ibadah di Rumah Doa Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) di Mergosari, Tarik, Sidoarjo, Jawa Timur. Hal itu menyusul polemik penolakan dan perizinan yang terjadi belakangan.

Rumah doa itu harus berhenti beroperasi hingga perizinan selesai. Gembala sidang GPdI Tarik, Pendeta Yoab Setiawan mengatakan, jemaat akhirnya terpaksa melakukan ibadah mingguan di rumah pribadi mereka.

"Enggak apa-apa ibadah di rumah saja. Jadi kami sepakat kami ibadah di rumah-rumah. Kami bagi tiga lokasi. Berkelompok," kata Yoab saat dikonfirmasi Indonesia.com, Rabu (3/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebenarnya, kata Yoab, pihak kepolisian sudah mencarikan solusi agar Jemaat GPdI Tarik bisa beribadah di gereja lain di Kecamatan Balongbendo yang jaraknya 6-7 kilometer dari tempat mereka. Namun pihak Yoab menolak.

ADVERTISEMENT

Jemaat Rumah Doa GPdI Tarik memilih melakukan ibadah tiap Minggu menjadi tiga kelompok, di tiga rumah. Tiap kelompok ada 15-20 orang. Ia berharap warga setempat akan menerima dan itu tak akan menimbulkan masalah.

"Biasanya kami satu bulan mungkin satu kali seperti itu, lingkungan tidak mempermasalahkan," ucap dia.

Yoab pun menyayangkan hal ini bisa terjadi. Menurutnya setiap warga negara dari agama apapun berhak mendirikan tempat ibadah. Kasus ini, menurutnya juga jadi bukti bahwa negara belum bisa memperlakukan menghapus diskriminasi terhadap minoritas.

"Sebagai minoritas sebenarnya punya hak yang sama untuk beribadah, tapi ya itu lah kita lihat di Indonesia keadaannya seperti ini," katanya.

Yoab juga meminta pemerintah segera mengkaji ulang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (SKB 2 menteri) terkait syarat pendirian rumah ibadah.

Sebab peraturan itu dinilai memicu diskriminasi dalam pembangunan rumah ibadah. Ia berharap kasus yang menimpa pihaknya ini adalah yang terakhir.

"Harapan saya melalui kasus ini, banyak rumah ibadah yang tidak ada izin, dipermudah. Dan SKB 2 menteri itu dicabut karena itu malah mempersulit perizinan IMB untuk tempat ibadah," pungkasnya.

Sebelumnya, Kepala Desa Mergosari Eko Budi Santoso dan jajarannya diduga melarang umat Kristen untuk beribadah di Rumah Doa Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI), yang terletak di Mergosari, Tarik, Sidoarjo, Minggu (30/6).



Aksi Eko dan beberapa orang lainnya itu terekam dalam video yang beredar di media sosial. Peribadahan dihentikan. Mereka kemudian terlibat perdebatan dengan pengelola rumah doa.

Eko mengaku mendapat aduan warga yang mempermasalahkan mengapa bangunan itu selalu didatangi banyak orang tiap pekan. Dia juga mempertanyakan izin mendirikan bangunan (IMB) Rumah Doa GPdI Tarik itu.

Plt Bupati Sidoarjo Subandi membantah pemberitaan dan informasi yang menyebut terjadi larangan aktivitas umat Kristen, di Rumah Doa Gereja Panteskosta di Indonesia (GPdI) di Mergosari, Tarik, Sidoarjo.

Subandi langsung mendatangi lokasi, dia berkoordinasi dengan kepala desa, BPD, perwakilan rumah ibadah dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa perizinan untuk mendirikan tempat ibadah akan dilengkapi sesuai aturan yang berlaku. Selama menunggu itu, rumah doa tidak diperbolehkan beroperasi.

"Selama menunggu izin selesai, maka ibadahnya bisa di rumah masing-masing. Bukan tidak boleh beribadah," kata Subandi melalui keterangan tertulisnya, Selasa (2/7).

(frd/isn)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat