yoldash.net

Pakar Nilai RUU Penyiaran Tingkatkan Risiko Kriminalisasi Jurnalis

RUU Penyiaran dinilai berpotensi memudahkan pemerintah membatasi kebabasan pers, bahkan memidanakan jurnalis melalui konten berita yang dianggap meresahkan.
Pakar media dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Irfan Wahyudi menilai RUU Penyiaran berpotensi memidanakan jurnalis melalui konten berita yang dianggap meresahkan. (Foto: Arsip Unair)

Jakarta, Indonesia --

Draf Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang tengah dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR, menuai kritik dari pelbagai pihak, termasuk pakar media dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Irfan Wahyudi.

Irfan menyoroti salah satu pasal paling kontroversial di dalamnya yakni Pasal 56 Ayat 2 C, yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pasal ini menjadi perkara yang signifikan. Sebab, jurnalisme investigatif telah memberi nuansa yang kuat pada proses politik maupun sosial di Indonesia," kata Irfan, melalui keterangan resminya, Kamis (16/5).

Irfan menginterpretasikan larangan tersebut sebagai wujud pembungkaman pers dan ekspresi media. Menurutnya, peraturan itu membingungkan dan menimbulkan keresahan publik.

Sebagai wujud penyempurnaan dari UU Penyiaran, Irfan menekankan RUU itu perlu disesuaikan dengan zaman.

Irfan lalu meninjau dua regulasi yang mengatur masalah penyiaran. Pertama, keputusan Presiden dalam Omnibus Law, yang mengatur tentang penyelenggaraan penyiaran.

Kedua, UU ITE atau peraturan penyiaran dari KPI. Sedangkan, pada RUU penyiaran juga mengatur penyelesaian sengketa jurnalistik yang dinaungi oleh KPI.

"Permasalahannya terletak pada RUU penyiaran yang memiliki fungsi serupa dengan UU ITE dalam implementasinya. Sehingga, antar UU ITE dan RUU Penyiaran ini saling tumpang tindih dan memicu kebingungan dalam penanganan sengketa jurnalistik," ucap dia.

Menurutnya, RUU itu berpotensi memudahkan pemerintah untuk membatasi kebebasan pers dan bahkan memidanakan jurnalis melalui konten berita yang dianggap meresahkan. Atau dengan kata lain, aturan ini dapat meningkatkan risiko kriminalisasi terhadap jurnalis.

"Penyelesaian masalah pers seharusnya melibatkan lembaga yang menangani etika pers. Jadi ada hak jawab dari narasumber yang merasa keberatan. Tidak serta merta langsung masuk ke pidana," kata Irfan.

RUU ini malah menakuti para jurnalis dan berpotensi mengancam kebebasan pers. Padahal, kata Irfan, pers merupakan pilar penting bagi demokrasi Indonesia.

"Kritik itu hal yang wajar, tapi kemudian jangan sampai malah shoot the messenger gitu. Yang mana, malah mengkriminalisasi jurnalistik itu sendiri. Saya kira ini masih menjadi PR bagi Indonesia," tuturnya.

Tidak hanya itu, Irfan juga memperingatkan RUU ini berpotensi membangkitkan orde baru dan kebiasaan lamanya, yakni pembredelan pers.

"Media harus berhati-hati untuk tidak kembali ke masa pembredelan pers seperti era Orde Baru. Ketika mengkritik pemerintah, media harus bertanggung jawab dalam menjaga integritas dan independensi institusi," ujarnya.

Dewan Pers dan seluruh komunitas pers dengan tegas menolak isi draf RUU Penyiaran yang merupakan inisiatif DPR.

"Kami menolak RUU Penyiaran. Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran tetapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran," kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam jumpa pers di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5).

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dyatmika menegaskan, jika DPR atau pemerintah tetap ngotot untuk memberlakukan RUU itu, maka akan berhadapan dengan masyarakat pers.

"Kalau DPR tidak mengindahkan aspirasi ini, maka Senayan akan berhadapan dengan komunitas pers," kata Wahyu.

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar, Dave Laksono membantah pihaknya maupun pemerintah ingin memberangus hak kebebasan berpendapat lewat revisi UU Penyiaran.

"Tidak ada sedikit pun dari pemerintahan Jokowi ataupun pemerintahan nantinya Presiden Prabowo dan DPR akan memberangus hak-hak masyarakat dan kebebasan berpendapat apalagi informasi kepada masyarakat," kata Dave saat dihubungi, Senin (13/5).

(frd/pmg)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat