yoldash.net

Mengurai Ruwet Masalah Royalti Seperti di Kasus Agnez Mo dan Stinky - Halaman 2

Alih tahun 2023-2024 diisi dengan riuh masalah royalti yang muncul dari musik Indonesia, seperti pada kasus Agnez Mo dan Stinky.
Mantan gitaris stinky, Ndhank Surahman Hartono melarang Stinky membawa lagu Mungkinkah. (Febriyantino/ detikHOT)

Dalam direct licensing, penyanyi akan langsung membayarkan royalti ke pencipta lagunya dalam klausul yang disepakati bersama, tanpa melalui perantara pihak ketiga lainnya seperti LMK.

Skema pembayaran langsung ini dipandang lebih 'memanusiakan' para pencipta lagu lantaran jumlah yang diterima kreator jauh lebih besar dari sistem via LMK yang dikenal dengan blanket license.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Candra menilai, kemunculan pembayaran langsung ini terjadi karena model penyerapan royalti secara blanket license mengundang resistensi lantaran ada gap besar antara pendapatan pencipta lagu dengan penyanyi yang membawakan lagunya.

Meski sistem langsung dipandang "masuk akal secara logika sederhana", Candra justru menilai ada celah besar dan konsekuensi jangka panjang yang dihadapi bila cara ini jadi satu-satunya model pembayaran royalti.

ADVERTISEMENT

"Sistem blanket [kolektif via LMK] memungkinkan pencipta yang kurang terkenal turut kecipratan royalti dari sebuah konser," kata Candra.

[Gambas:Instagram]



"Sementara, sistem direct mengandung risiko hal ini [pencipta kurang terkenal] jadi terabaikan. Walaupun pencipta lagu top bisa memperbaiki nasibnya," katanya.

"Sistem blanket tarifnya pasti. Sementara sistem direct bisa bervariasi, membuat ketidakpastian di pihak pembayar dan penerima," kata Candra Darusman.

Celah di UU

Di sisi lain, keruwetan masalah royalti musik yang terjadi baru-baru ini juga dipandang sebagai buah dari pemahaman yang tak selaras dalam memandang royalti milik pencipta lagu.

Akademisi Hak Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Sahat Sidabukke menilai, ada celah dalam penerapan aturan hak cipta yang diatur dalam UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 yang mudah dimanfaatkan penyelenggara konser.

"Musisi itu kalau masuk ke dalam suatu konser, dia kan mendapatkan suatu bayaran yang lain, iya kan? Sementara pencipta kan tidak," kata Sahat dalam kesempatan terpisah.

"Gap-gap seperti ini yang akhirnya menjadi polemik. Di setiap panggung kan ada performance yang dilakukan juga," lanjutnya.



Menurut Sahat, perlu diadakannya kajian ulang terkait konsensus bersama mengenai royalti yang berhak diterima oleh pencipta. Ia menyebut setiap karya lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi, maka pencipta juga wajib menerima hak ekonomi dari penampilan lagu itu.

"Ketika penyelenggara mempertunjukkan suatu penyanyi dari pencipta lagu berbeda, berarti dia juga harus ada suatu lisensi yang harus dibayarkan kepada pencipta," jelas Sahat.

"Jadi enggak cuma kepada para pelaku pertunjukan [penyanyi] saja," imbuhnya.

"Itu ada yang namanya hak dari pencipta, hak ekonomi dari pencipta. Yang salah satu poinnya itu adalah pertunjukan ciptaan, mengumumkan ciptaan, yang di mana untuk ini, dia [pencipta] dapat hak ekonominya." kata Sahat.

(far/end)

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat