Taktik Biduan Koplo Hindari Tangan-tangan Nakal demi Saweran
Suara Githa Gusmania yang menyanyikan lagu koplo Melayu mengalun kencang dari sound system di atas panggung. Bukan dari acara festival musik ataupun penampilan di klub malam, tapi suatu khitanan yang digelar di suatu desa di wilayah Indramayu.
Sebagai biduan yang laris manis manggung di wilayah pantai utara, Githa sudah paham akan tugasnya. Begitu juga lagu-lagu yang akan dimainkan sore itu. Dengan lihai ia berdendang, bergoyang, menyemarakkan sore yang gerah pada akhir Desember 2022 itu.
Lihat Juga : |
Dangdut Koplo yang dibawakan dengan gaya khas Indramayu berbaur dengan suara tarling (gitar dan suling) pun tak kelihatan "salah tempat" pada acara seperti khitanan.
Penampilan Githa pun direspons dengan 'invasi' sejumlah laki-laki di tengah-tengah pertunjukan. Githa hanya bisa mahfum saja.
Pria-pria itu, yang terdiri dari berbagai usia dewasa, naik dan berjoget kikuk mendekati Githa dan berusaha mengikuti alunan musik yang lentur. Mereka bukan cuma mau joget, tangannya menggenggam sejumlah uang dua ribuan hingga lima ribuan rupiah. Githa disawer, sebuah tradisi yang amat biasa terjadi di atas panggung dangdut Indonesia.
Githa tentu meraih saweran itu. Sebelah tangannya menjangkau uang saweran itu satu per satu, sementara tangannya yang lain tetap memegang mikrofon dan berusaha bernyanyi tidak fals. Tak lupa, kerlingan senyum dan menyebut nama penyawer agar mereka lebih bahagia.
Githa disawer, sebuah tradisi yang amat biasa terjadi di atas panggung dangdut Indonesia. (Indonesia/Safir Makki) |
Ketika tangannya penuh dengan uang recehan, Githa menyerahkan kepada rekannya yang sudah siaga dengan sebuah kardus dan berdiri di sisi lain panggung. Sementara Githa lanjut bernyanyi, ia menghitung saweran dan merapihkannya.
Hal yang sama juga dialami oleh biduan lainnya, Cici. Penyanyi di Orkes Melayu (OM) Marshella di Yogyakarta itu pun kurang lebih merasakan hal yang sama dengan Githa di Indramayu.
Bagi para biduan ini, saweran lebih dari sekadar pemberian uang dari penonton. Dari saweran inilah, kebutuhan ekonomi mereka tercukupi. Seringkali bila biduan tampil baik dan penontonnya bermurah hati, hasil saweran lebih besar dari bayaran manggung.
"Kami kan kerja bareng sama musisi, berarti kan bareng-bareng. Jadi nanti harus dibagi bareng-bareng. Kalau kami dapatnya lebih banyak, pasti mereka dapatnya juga akan banyak," kata Cici.
Lihat Juga :GALERI INTERAKTIF Aduh, Aduh, Koplo |
Pola itulah yang membuat para biduan ini menyiapkan strategi khusus demi merengkuh lebih banyak cuan dari para penyawer, terutama penonton laki-laki yang mudah tergerak ke atas panggung selama pegang uang dan punya nyali.
Strategi para biduan ini tak lain adalah berpenampilan seksi. Pakaian ketat, rok mini, sepatu hak tinggi, dan riasan cetar jadi 'seragam' para biduan.
Tak lupa, koreografi goyangan dan lenggak-lenggok genit dengan vokal yang mesti tetap prima mesti jadi pelicin untuk membantu menggoyang kantung para penonton.
Strategi yang bagi sebagian orang menilai sebagai "erotis" itu bahkan sudah dianggap sebagai salah satu unsur krusial dalam pertunjukan dangdut koplo. Menurut peneliti dangdut Andrew N. Weintraub, erotisme termasuk salah satu dari empat karakteristik dangdut koplo.
Lanjut ke sebelah...