yoldash.net

Menabur Benih Persahabatan Petani dan Dunia Digital

Sekalipun cara tradisional mungkin memberikan kenyamanan dan kepercayaan, kemajuan teknologi juga membantu menyejahterakan petani.
Sekalipun cara tradisional mungkin memberikan kenyamanan dan kepercayaan, namun kemajuan teknologi juga membantu menyejahterakan petani.(CNN Indonesia/Bisma Septalisma)

Jakarta, Indonesia --

Beberapa tahun lalu, Hermawati kebingungan bukan main. Keinginannya untuk makan lalap selada harus kandas lantaran harga per pohonnya terbilang mahal. Bukan tak mampu beli, tapi dia memilih untuk tak membelinya lantaran butuh perjuangan panjang.

Dulu sebelum pindah kerja ke area Sofifi, Pulau Halmahera, Maluku Utara, Herma tinggal di Magelang, Jawa Tengah. Di sana dia bisa makan selada sepuasnya dengan harga yang murah. Tapi itu dulu.

"Selada bukan sayur favorit warga sini. Yang ada hanya sayur-sayuran yang cepat panen sehingga cepat menghasilkan uang," ucap wanita yang berprofesi sebagai peneliti di Kementerian Pertanian setempat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sana, selada dijual per pohon, bukan bersama tanah dan potnya, melainkan dengan akar-akarnya. Untuk satu pohonnya, selada dijual dengan harga Rp10 ribu-15 ribu. Itu belum ditambah dengan hitung-hitungan ongkos perjalanan pergi pulang ke Ternate.

"Kalau mau beli sayuran itu harus ke Ternate, naik speedboat 30 - 45 menit tergantung kecepatannya, 2,3, atau 4 mesin, dan tergantung ombak," ucapnya.

ADVERTISEMENT

Namun nyatanya bukan cuma selada, tapi juga beberapa jenis sayuran lainnya seperti paprika, kol, brokoli, pakcoy. Bisa jadi sayuran ini dianggap jadi sayuran mewah.

"Paprika, selada itu adanya di supermarket di Ternate. Kalau paprika 'impor' dari Manado mungkin, makanya harganya mahal."

Beralih ke online

Di masa sekarang ini, perkembangan teknologi sudah tak bisa diabaikan. Diakui atau tidak, sekalipun cara tradisional mungkin memberikan kenyamanan dan kepercayaan, namun kemajuan teknologi juga membantu menyejahterakan petani.

Tengok saja berbagai usaha baru berbasis online yang muncul di saat pandemi. Bisnis online nyatanya memberikan kenyamanan baru bagi para pelanggan. Hal ini pulalah yang disadari oleh Herma dan timnya di Sofifi. Sekalipun mereka tak ada masalah dengan penyaluran hasil tani, namun petani tetap diharapkan untuk menguasai internet sehingga bisa melakukan jual-beli secara online dan media sosial.

"Kalau media sosial ke petani kami ajarkan mulai dari bagaimana foto produk atau bikin video lalu cara unggahnya ke media sosial," ucapnya.

"Kami juga beri tahu kalau dengan memakai media sosial bisa meningkatkan penjualan dan memperluas pasar, dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan mereka."

Herma dan timnya sendiri yang akhirnya menanam selada secara hidroponik pun menerapkan hal serupa. Hanya saja, dia mengaku menjual selada panenan hidroponik ini bukan untuk tujuan komersial, melainkan sebagai sarana edukasi teknologi pertanian dan juga 'uji efektivitas' sosial media. 

"Sekarang ini setiap panen selada hidroponik bisa sampai 300 net pot. Kami foto lalu sebar ke media sosial dan pesan singkat, dalam waktu singkat langsung ludes."

Petani merawat bibit sayur pakcoy yang ditanam menggunakan metode hidroponik di Tangkit Lama, Sungai Gelam, Muarojambi, Jambi, Sabtu (16/5/2020). Pertanian hidroponik di lahan seluas 3x10 meter dengan beberapa jenis sayur di antaranya bayam merah, daun mint, samhong, nai bai, dan beberapa jenis selada yang telah dipasarkan ke sejumlah pasar modern setempat itu beromzet Rp3 juta per bulan sehingga bisa menjadi peluang usaha pertanian di lahan yang terbatas. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/hp.Foto: ANTARA FOTO/WAHDI SEPTIAWAN
Petani merawat bibit sayur pakcoy yang ditanam menggunakan metode hidroponik (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/hp)

Diakui dia digitalisasi pertanian bisa dimanfaatkan untuk hal lain, bukan hanya soal jualan secara online, melainkan juga dari kemajuan teknologi yang menciptakan kemudahan untuk petani lokal dari teknologi pembenihan, hidroponik yang tengah tren saat ini, sistem pengairan, dan lainnya.

Ekspansi distribusi penjualan sayur melalui internet atau sosial media juga sudah banyak dilakukan. Aplikasi untuk menjual hasil tani pun tumbuh subur di Indonesia. Di Apple Store saja ada setidaknya belasan aplikasi jual beli sayur secara online. Salah satu aplikasi berbasis komunitas tani bahkan ada yang mengklaim bisa meningkatkan penjualannya usai bergabung dengan marketplace. Mereka bahkan bisa meningkatkan penjualan mencapai 1500 order di 3 bulan terakhir.

Selain lewat aplikasi, 'bantuan' online kepada petani juga bisa dilakukan dengan berbagai cara. Seperti yang dilakukan warga di Tunggilis Pojok dan Sarongge, misalnya donasi sayur. Donasi sayur sendiri adalah gerakan #BantuPetaniBantuSesama, gerakan ini akan mendonasikan 200-300 bongsang sayuran. Sayuran ini akan didistribusikan melalui komunitas relawan Lumbung Pangan, Jakarta Pusat. Semua promosi dan perkenalan gerakan ini dilakukan melalui media sosial. Hasilnya pun cukup memuaskan.

"Dari satu paket harganya Rp25ribu. Sayuran ada 8 macam, mulai dari daun bawang, cabai, kacang panjang, terong, tomat, wortel, labu siam, dan buncis. Kalau 300 bongsang butuh sekitar 100 kilogram buncis, itu bisa ambil dari 3-4 petani. Terong 100 kilogram bisa 4-5 petani. Nah itu bisa menyerap dari hasil panen 20-30 orang petani," jelas Dudu Duroni, salah seorang petani di gerakan Donasi Sayur.

"Itu belum ada yang beli, baru ditampung saja sudah senang. Ada ini petani semangat lagi. Harapannya aktivitas petani walau lambat tapi pasti, murah tapi lancar."

Hanya saja di balik perkembangan teknologi ini, masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Herma mengungkapkan, petani lokal di daerahnya masih belum melek teknologi dan belum nyaman untuk total memanfaatkan teknologi penjualan online.

"Sampai sekarang yang utama mereka masih jual lewat dibo-dibo (pengepul). Belum banyak yang memanfaatkan teknologi," kata Herma.

"Sudah setahunan ini, diajarin pakai teknologi, didampingi, tapi banyak yang masih kesulitan. Enggak biasa pakai hp katanya."

Selain belum terbiasa, kendala perkara sinyal telepon juga dialami di pulau tersebut.

"Beda kalau di kota, kalau di sini mah sinyal aja masih dijual terpisah."

Petani di Desa Pinang Sebatang Barat kala memetik sayur bayam. Indonesia/Agniya Khoiri)Foto: Indonesia/Agniya Khoiri
Petani di Desa Pinang Sebatang Barat kala memetik sayur bayam. Indonesia/Agniya Khoiri)

Mencontoh 'dunia luar'

Tanah Indonesia sesungguhnya memang dianugerahi kesuburan yang luar biasa. Berbagai tanaman bisa tumbuh subur di tanah Indonesia. Bandingkan dengan negara-negara lain yang mungkin harus bekerja keras untuk bisa memiliki kekayaan tanah seperti Indonesia.

Namun yang disayangkan, industri pertanian dan penjualan hasil tani negara lain bisa dikatakan lebih maju dibanding Indonesia, salah satunya di Jerman. Fandi Stuerz, pria asal Solo yang kini menetap di Jerman menemukan berbagai kemudahan untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Semuanya dalam genggaman.

"Di sini, teknologi udah jadi barang sehari-hari, sinkronisasi untuk bantu industri, riset benih, pestisida, quality control, pemasaran, dan pemerintah juga mendukung itu," katanya.

Kolaborasi sinergis antara petani, distributor, dan pemerintah pun membuat hasil produksi para petani lokal tak terlalu terpengaruh negatif.

"Turun iya, tapi karena masuk produk essential, dan ada bantuan pemerintah seperti penghapusan atau penundaan pajak sampai bantuan tunai."

Sama seperti di Indonesia, di Jerman pun banyak bermunculan aplikasi penjualan hasil tani yang menyediakan layanan pembelian langsung dari petani dan juga delivery. Hanya saja demi membedakan layanan online hasil tani yang satu dengan yang lainnya, petani atau pengembang aplikasi tani harus punya ide menarik di baliknya atau misi lain.

Di Jerman, sebagai contoh, salah satu yang populer adalah aplikasi sayur online yang menghadirkan pilihan penjualan sayur berdasar masakan yang akan dibuat dan jumlah orang yang bakal menyantapnya.

Petani memanen kubis di perkebunan kubis Sarangan, Magetan, Jawa Timur, Rabu (24/2). Menurut petani harga kubis di tingkat petani saat ini Rp2.000 per kilogram, tergolong rendah dibanding pada saat harga tinggi mencapai Rp5.000 per kilogram. ANTARA FOTO/Siswowidodo/pras/16Foto: ANTARA FOTO/Siswowidodo
Petani memanen kubis di perkebunan kubis Sarangan, Magetan, Jawa Timur, Rabu (24/2). Menurut petani harga kubis di tingkat petani saat ini Rp2.000 per kilogram, tergolong rendah dibanding pada saat harga tinggi mencapai Rp5.000 per kilogram. ANTARA FOTO/Siswowidodo/pras/16

"Ada aplikasi yang memungkinkan pembeli bisa paketan sayur untuk dimasak hari itu. Di dalamnya lengkap dengan bumbunya. Ada bawang putih dua siung, cabe merah tiga buah, dan lainnya. Bahkan ada resepnya juga, lengkap," kata Fandi.

"Nanti akan ditanya untuk berapa porsi, lalu ada pantang atau alergi, jadi bisa disesuaikan."

"Gerakan ini tengah gencar, karena bisa untuk mengurangi sampah rumah tangga. Saya sendiri akhirnya bisa mengurangi produksi sampah organik dengan cara itu."

"Yang jualan online banyak, sebagai konsumen kami juga terbantu karena bisa dapat produk langsung dari petani langsung yang fresh sekaligus memberdayakan petani lokal dengan produk lokal."

(chs/chs)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat