Edi Sukmoro, Vokalis Band 'Wajan dan Ember' yang Jadi Bos KAI
Jakarta, Indonesia -- Sosok pria berbadan tegap mengenakan seragam putih tampak berjalan di area Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Sesekali, ia menyapa petugas stasiun sambil mengamati fasilitas stasiun yang berada di seberang Pasar Senen itu. Dia adalah Edi Sukmoro, direktur utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI.
Insinyur teknik sipil dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini memulai karirnya di PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN pada 1984. Perjalanan karirnya di perusahaan setrum pelat merah itu terbilang lama, yaitu 29 tahun.
Pada 2013, Ignasius Jonan, direktur utama KAI kala itu, memintanya untuk bergabung menata industri kereta api. Edi pun bergabung dengan KAI sebagai direktur aset. Selang setahun, Edi didapuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan Jonan yang diminta bertugas sebagai menteri perhubungan.
Bagi Edi, pelayanan kepada masyarakat merupakan bentuk balas budi kepada negara yang telah menanggung biaya kuliahnya.
[Gambas:Video CNN]
"Karena anak tentara, saya ingat sekali setiap bulan dapat Rp25 ribu. Setelah lulus saya berpikir ini yang diberikan negara kepada saya, maka saya sebaiknya memberikan kembali kepada negara apa yang saya punyai," ujarnya kepada Indonesia.com belum lama ini.
Di balik sosoknya yang tegas, tak disangka Edi adalah mantan vokalis grup musik ITB. Semasa kuliah, ia bergabung dengan grup musik Dapur ITB.
"Jadi kami manggung tapi musiknya itu alat-alat dapur jadi ada wajan, ada ember, kentongan dari kompor segala macam, gelas- gelas, dan botol. Kami tampil dulu, nah saya itu salah satu vokalisnya," ucapnya.
Selain hobi, Edi juga bercerita tentang pengalaman hidup dan kesibukannya sebagai direktur utama KAI selama 6 tahun terakhir. Berikut petikan wawancara khusus Indonesia.com dengan pria kelahiran 15 Maret 1959 ini beberapa waktu lalu.
Bagaimana awal mula karir Bapak hingga menduduki posisi Direktur Utama PT KAI selama 6 tahun?
Saya SD di Semarang, SD Bernadhus lalu SMP saya ikut orang tua karena pindah ke Jakarta, yaitu di SMP Santo Antonius, Jatinegara, lalu SMA 12 Jakarta di Klender. Setelah itu saya melanjutkan tahun 1978 masuk ke ITB jurusan Teknik Sipil. Pada saat itu, kampus kosong karena ada demo mahasiswa dan saya selesai tahun 1984.
Setelah saya selesai saya langsung bergabung dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Awalnya saya masuk sebagai cost engineering yang mempelajari soal biaya. Setelah dari PLN, saya ditarik pindah, pada saat itu saya sebagai Deputi Direktur Anggaran lalu menjadi Deputi Direktur Umum, dari Deputi Direktur Umum saya lalu dipindah ke PT KAI menjadi Direktur Aset.
Setelah masuk ke Direktur Aset, satu tahun kemudian Pak Ignasius Jonan yang menjabat Direktur Utama beliau menjadi Menteri Perhubungan. Lalu pemegang saham Kementerian BUMN mengangkat saya sebagai Direktur Utama PT KAI. Dari saat itu sampai sekarang saya menduduki jabatan Direktur Utama PT KAI. Satu periode selesai tahun kemarin, sekarang periode kedua.
Latar belakang Bapak adalah teknik sipil, lalu terjun di PLN. Apakah Bapak mengira akan menjadi Direktur Utama KAI?
Kedua BUMN ini, menyangkut masalah public service, pelayanan publik yang luar biasa dan memang keduanya ini butuh pengabdian yang luar biasa. Kalau ditanya apakah saya terpikir menjadi direktur utama, jawabannya tidak. Karena saya memang berangkat hanya ingin mengabdi kepada negara dan tempat yang paling baik memang BUMN yang ada pelayanan publiknya.
Saya di PLN 29 tahun. Nah, 29 tahun itu memberikan pelayanan kepada masyarakat dan perlu diketahui di dunia mana pun tidak ada daerah maju tanpa listrik. Apalagi pemerintah sekarang memberikan perhatian luar biasa terhadap kelistrikan, ini saya angkat topi karena negara maju itu semua daerah dialiri listrik.
Kalau KAI itu mirip, hanya nuansanya berbeda karena KAI saat ini operasi hanya ada di Jawa dan Sumatera sedangkan PLN itu seluruh Indonesia sudah ada, hanya belum komplit.
Satu hal yang menjadi tantangan saat saya pindah ke KAI adalah kami mengangkut atau memindahkan dari satu titik ke titik lain dengan kereta. Ini risiko kalau tidak diawasi betul-betul ini bisa terjadi sesuatu yang tidak kami harapkan, anjlok-lah, tabrakan-lah.
Oleh sebab itu, pikiran saya adalah sepenuhnya ingin saya curahkan perhatiannya di KAI mengutamakan keselamatan perjalanan KAI karena yang diangkut itu nyawa orang. Jadi ingat, kalau terjadi sesuatu nyawa hilang tidak bisa ditukar.
Nah, sebentar lagi kita operasi Natal dan tahun baru. Ini jutaan orang juga yang akan diangkut tentunya harus kami berikan perhatian luar biasa. Maka dari itu, kala orang berlibur maka pegawai KAI justru bekerja keras.
Apa yang menjadi motivasi Bapak untuk mengabdi kepada masyarakat?
Karena saya berpikir, saya ini hanya beberapa orang yang beruntung di Indonesia ini yang mendapatkan dukungan dalam hal pendidikan. Dari sejak sekolah, bapak saya tentara penghasilannya tidak seberapa.
Maka, saya waktu masuk ITB dari masuk sampai lulus itu saya hidupnya dari beasiswa. Namanya Beasiswa Supersemar.
Karena anak tentara pejuang, saya ingat sekali setiap bulan dapat Rp25 ribu. Rp25 ribu cukup setiap bulannya untuk hidup di Bandung saat kuliah. Setelah lulus saya berpikir ini yang diberikan Negara kepada saya, maka saya sebaiknya memberikan kembali kepada Negara apa yang saya punyai.
Tidak banyak orang yang punya kesempatan itu dan saya berbangga sekali, karena di lingkungan KAI ini 30 ribu orang rasanya seperti keluarga. Saya pergi kemana-mana tidak sebagai orang asing atau pejabat tetapi saya diakui sebagai keluarga sendiri.
Insinyur teknik sipil dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini memulai karirnya di PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN pada 1984. Perjalanan karirnya di perusahaan setrum pelat merah itu terbilang lama, yaitu 29 tahun.
Pada 2013, Ignasius Jonan, direktur utama KAI kala itu, memintanya untuk bergabung menata industri kereta api. Edi pun bergabung dengan KAI sebagai direktur aset. Selang setahun, Edi didapuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan Jonan yang diminta bertugas sebagai menteri perhubungan.
[Gambas:Video CNN]
"Karena anak tentara, saya ingat sekali setiap bulan dapat Rp25 ribu. Setelah lulus saya berpikir ini yang diberikan negara kepada saya, maka saya sebaiknya memberikan kembali kepada negara apa yang saya punyai," ujarnya kepada Indonesia.com belum lama ini.
"Jadi kami manggung tapi musiknya itu alat-alat dapur jadi ada wajan, ada ember, kentongan dari kompor segala macam, gelas- gelas, dan botol. Kami tampil dulu, nah saya itu salah satu vokalisnya," ucapnya.
Selain hobi, Edi juga bercerita tentang pengalaman hidup dan kesibukannya sebagai direktur utama KAI selama 6 tahun terakhir. Berikut petikan wawancara khusus Indonesia.com dengan pria kelahiran 15 Maret 1959 ini beberapa waktu lalu.
Bagaimana awal mula karir Bapak hingga menduduki posisi Direktur Utama PT KAI selama 6 tahun?
Saya SD di Semarang, SD Bernadhus lalu SMP saya ikut orang tua karena pindah ke Jakarta, yaitu di SMP Santo Antonius, Jatinegara, lalu SMA 12 Jakarta di Klender. Setelah itu saya melanjutkan tahun 1978 masuk ke ITB jurusan Teknik Sipil. Pada saat itu, kampus kosong karena ada demo mahasiswa dan saya selesai tahun 1984.
Setelah saya selesai saya langsung bergabung dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Awalnya saya masuk sebagai cost engineering yang mempelajari soal biaya. Setelah dari PLN, saya ditarik pindah, pada saat itu saya sebagai Deputi Direktur Anggaran lalu menjadi Deputi Direktur Umum, dari Deputi Direktur Umum saya lalu dipindah ke PT KAI menjadi Direktur Aset.
Setelah masuk ke Direktur Aset, satu tahun kemudian Pak Ignasius Jonan yang menjabat Direktur Utama beliau menjadi Menteri Perhubungan. Lalu pemegang saham Kementerian BUMN mengangkat saya sebagai Direktur Utama PT KAI. Dari saat itu sampai sekarang saya menduduki jabatan Direktur Utama PT KAI. Satu periode selesai tahun kemarin, sekarang periode kedua.
Kedua BUMN ini, menyangkut masalah public service, pelayanan publik yang luar biasa dan memang keduanya ini butuh pengabdian yang luar biasa. Kalau ditanya apakah saya terpikir menjadi direktur utama, jawabannya tidak. Karena saya memang berangkat hanya ingin mengabdi kepada negara dan tempat yang paling baik memang BUMN yang ada pelayanan publiknya.
Saya di PLN 29 tahun. Nah, 29 tahun itu memberikan pelayanan kepada masyarakat dan perlu diketahui di dunia mana pun tidak ada daerah maju tanpa listrik. Apalagi pemerintah sekarang memberikan perhatian luar biasa terhadap kelistrikan, ini saya angkat topi karena negara maju itu semua daerah dialiri listrik.
Kalau KAI itu mirip, hanya nuansanya berbeda karena KAI saat ini operasi hanya ada di Jawa dan Sumatera sedangkan PLN itu seluruh Indonesia sudah ada, hanya belum komplit.
Oleh sebab itu, pikiran saya adalah sepenuhnya ingin saya curahkan perhatiannya di KAI mengutamakan keselamatan perjalanan KAI karena yang diangkut itu nyawa orang. Jadi ingat, kalau terjadi sesuatu nyawa hilang tidak bisa ditukar.
Nah, sebentar lagi kita operasi Natal dan tahun baru. Ini jutaan orang juga yang akan diangkut tentunya harus kami berikan perhatian luar biasa. Maka dari itu, kala orang berlibur maka pegawai KAI justru bekerja keras.
Apa yang menjadi motivasi Bapak untuk mengabdi kepada masyarakat?
Karena saya berpikir, saya ini hanya beberapa orang yang beruntung di Indonesia ini yang mendapatkan dukungan dalam hal pendidikan. Dari sejak sekolah, bapak saya tentara penghasilannya tidak seberapa.
Maka, saya waktu masuk ITB dari masuk sampai lulus itu saya hidupnya dari beasiswa. Namanya Beasiswa Supersemar.
Karena anak tentara pejuang, saya ingat sekali setiap bulan dapat Rp25 ribu. Rp25 ribu cukup setiap bulannya untuk hidup di Bandung saat kuliah. Setelah lulus saya berpikir ini yang diberikan Negara kepada saya, maka saya sebaiknya memberikan kembali kepada Negara apa yang saya punyai.
Tidak banyak orang yang punya kesempatan itu dan saya berbangga sekali, karena di lingkungan KAI ini 30 ribu orang rasanya seperti keluarga. Saya pergi kemana-mana tidak sebagai orang asing atau pejabat tetapi saya diakui sebagai keluarga sendiri.