yoldash.net

BRIN Ungkap Beda Kearifan Lokal dan Hp buat Mitigasi Bencana

BRIN memulai program mitigasi bencana memakai kearifan lokal dengan berbagai kolaborasi. Simak teknik-tekniknya.
Ilustrasi. Tanda-tanda alam didalami buat jadi mitigasi bencana. (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)

Jakarta, Indonesia --

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memprioritaskan pengetahuan lokal ketimbang penggunaan teknologi informasi seperti pengiriman pesan secara massal atau text blast.

Hal itu terungkap terkait kerja sama BRIN dengan Management of Social Transformation (MOST) UNESCO dalam hal program mitigasi bencana bagi kelompok rentan.

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menyebut program ini tidak akan menggantikan penggunaan teknologi sebagai salah satu cara mitigasi bencana, melainkan lapisan tambahan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pasalnya, penggunaan teknologi untuk mitigasi bencana memiliki sejumlah keterbatasan. Selain itu, harganya juga cukup mahal, misalnya, untuk distribusi informasinya.

"Harus pasang speaker atau harus blasting message ke semua Hp? Itu apa pun kan tetap mahal. Padahal kan kalau dia sudah memiliki di alam bawah sadar sudah diajarkan local wisdom (kearifan lokal) tadi, begitu dia melihat itu dia sudah tahu, tidak usah melihat Hp lagi," katanya, di Jakarta, Selasa (27/2).

ADVERTISEMENT

Penggunaan aplikasi ponsel (app) sebagai alat utama pemberitahuan bencana sejak lama lazim diterapkan secara masif di Jepang. Contohnya Yurekuru Call, yang merupakan aplikasi sistem peringatan dini gempa dan tsunami dari Japanese Meteorological Agency.

Selain itu, ada pula NERV Disaster Prevention dengan fungsi sejenis.

Handoko melanjutkan menyebut banyaknya pengetahuan lokal akan disebarkan karena beberapa fenomena sangat mungkin sama.

"Justru yang banyak itu harus didiseminasikan ke yang lain, karena kan kemungkinan fenomenanya sama," jawabnya, ketika ditanya soal pengetahuan lokal yang beragam karena wilayah Indonesia yang luas.

Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan BRIN Mego Pinandito menyebut program ini juga bekerja sama dengan kementerian lembaga lain.

"Meski focal point-nya di BRIN, tapi kita bersama dengan kementerian lembaga yang lain. Fokusnya kepada bagaimana kita bisa memanfaatkan pengetahuan lokal dengan teknologi informasi untuk kaum rentan, itu ada perempuan, anak-anak, manula, termasuk penyandang disabilitas," ujarnya.

Mego menjelaskan BRIN telah melakukan akuisisi atau pencatatan pengetahuan lokal dan budaya terkait kebencanaan yang diceritakan secara turun-temurun di wilayah tertentu.

"Contohnya ada beberapa pulau yang aman pada saat tsunami, karena ternyata saat kejadian seperti lautnya turun itu sebentar lagi akan tsunami, jadi mereka langsung lari ke daerah yang tinggi. Tapi daerah itu saja, karena sangat lokal," ia mencontohkan.

Sementara itu, beberapa daerah lain yang kurang familiar dengan hal ini akan menganggap air laut yang surut sebagai peluang mendapatkan ikan yang banyak. Hal ini bisa menyebabkan korban yang sangat banyak.

Kemudian, Mego juga memberi contoh soal beberapa hewan seperti burung atau hewan ternak yang gelisah, yang bisa menjadi tanda akan sebuah fenomena alam.

Nantinya, output dari program ini adalah konten-konten edukasi dalam beragam bentuk, mulai dari tulisan hingga film.

"Jadi kita bisa menggunakan beragam model. Ada tulisan, teks, tapi ada juga film. Bagaimana kita mengubah menjadi film pendek yang menarik untuk kalangan yang memiliki keterbatasan atau kaum milenial," tuturnya.

[Gambas:Video CNN]

(lom/arh)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat