yoldash.net

Alarm dari BMKG Soal Efek Perubahan Iklim, Bencana Hingga Ekonomi

Krisis iklim membuat bencana makin banyak yang sekaligus merugikan perekonomian negara. Simak paparan BMKG berikut.
Sisa banjir bandang di Kalsel, 2021. Krisis iklim memicu hujan dan kekeringan makin ekstrem. (ANTARA FOTO/BAYU PRATAMA S)

Jakarta, Indonesia --

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengingatkan negara-negara di dunia bahwa "kondisi Bumi sedang tidak baik-baik saja" imbas perubahan iklim. Efeknya mulai dari bencana yang makin banyak dan kerugian perekonomian.

"Perubahan iklim mengancam seluruh negara. Tidak peduli kondisi negaranya, baik negara maju, berkembang, dan negara kepulauan kecil semuanya mengalami bencana hidrometeorologi bahkan multi bencana hidrometeorologi," kata dia, dalam Lokakarya bertajuk 'International Workshop on Climate Variabillty and Climate Services', di Bali, dalam siaran persnya.

Menurut dia, dampak perubahan iklim dirasakan oleh seluruh negara tanpa terkecuali dalam bentuk bencana alam dan kerugian ekonomi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertama, bencana alam. Contohnya, fenomena El Nino dan La Nina yang memicu terjadinya bencana hidrometeorologi. Imbas anomali iklim ini, satu negara bisa mengalami bencana banjir dan di saat yang sama mengalami kekeringan.

ADVERTISEMENT

"Kami melihat bahwa cuaca ekstrem, iklim, dan peristiwa terkait air menyebabkan 11.778 kejadian bencana yang dilaporkan antara tahun 1970-2021," ujarnya.

Kedua, kerugian ekonomi. Dalam laporan World Meteorogical Organization (WMO), laju perubahan iklim di dunia menganggu perekonomian sebuah negara.

Negara maju, misalnya, bisa mengalami 60 persen dari jumlah kejadian bencananya terkait cuaca. Namun, kerugian itu umumnya hanya 0,1 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Beda halnya dengan negara miskin atau berkembang. Dwikorita menyebut bencana membuat pukulan telak buat perekonomian negara-negara ini.

Negara berkembang, dalam laporan yang sama, terdampak 7 persen dari bencana global dengan kerugian 5 persen hingga 30 persen dari PDB.

Sementara, negara kepulauan kecil mengalami 20 persen bencana global yang menyebabkan kerugian hingga 5 persen dari PDB. Pada beberapa kasus, kerugiannya bahkan bisa melebihi 100 persen.

Kondisi tersebut, menurut Dwikorita, menunjukkan ketidakadilan atau tidak adanya kepasitas yang sama di antar-negara.

Atas dasar itu, melalui lokakarya internasional ini adalah satu upaya bagaimana menutup kesenjangan ketidakadilan iklim.

"Hal ini tidak hanya mencakup mengenali tantangan tetapi juga mengidentifikasi potensi keuntungan dalam menghadapi variabilitas iklim dan memanfaatkan jasa layanan iklim dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat dan lingkungan," kata Dwikorita.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) periode 2010 hingga 2020, tren kenaikan jumlah kejadian bencana alam naik hingga 82 persen. Hal yang sama terjadi secara global, khususnya sejak 1961.

"Sehingga, benar adanya bahwa peningkatan anomali suhu rata-rata baik di tingkat global maupun nasional menyebabkan meningkatnya frekuensi kejadian bencana, terutama bencana hidrometeorologi," kata Kepala BNPB Suharyanto.

Berdasarkan penelitian terbaru dari para ilmuwan di Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB, suhu rata-rata sudah 1,1 derajat Celsius lebih tinggi dari angka pada periode 1850-1900.

"Laju kenaikan suhu dalam setengah abad terakhir ini merupakan yang tertinggi dalam 2.000 tahun," kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Antonio Guterres.

[Gambas:Video CNN]

(tim/arh)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat