yoldash.net

Cuap-cuap Manis saat Krisis Iklim Makin Menggila

Sudah sembilan tahun menjabat sebagai presiden, apa saja langkah Joko Widodo dalam menangani krisis iklim di Indonesia?
Ilustrasi. Presiden Jokowi melakukan penanaman pohon mangrove sebagai salah satu program penanganan krisis iklim. (Foto: antara foto/agus suparto)

Jakarta, Indonesia --

Krisis iklim ternyata bukan cuma isapan jempol. Sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia sudah merasakan dampak langsung dari krisis iklim. Masalahnya, sudah cukupkah yang dilakukan pemerintah buat menangkalnya?

Dampak krisis iklim yang sangat terasa bagi kehidupan sehari-hari di antaranya, cuaca ekstrem, krisis air bersih, suhu kian memanas, hingga kemarau berkepanjangan yang memicu kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah Tanah Air.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan suhu rata-rata di Indonesia melonjak drastis. Untuk tahun ini saja, suhu rata-rata Indonesia naik 0,4 derajat Celsius.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut BMKG, seharusnya rata-rata suhu di Indonesia berkisar 26,6 derajat Celsius. Nyatanya, rata-rata suhu sudah mencapai 27 derajat Celsius, bahkan suhu maksimum di Indonesia sudah mencapai 38 derajat Celsius.

Meningkatnya suhu panas ini juga berimbas pada kenaikan kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 499 kejadian karhutla sepanjang Januari sampai Agustus 2023.

ADVERTISEMENT

Angka itu lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Menurut BNPB sejak 2020 hingga 2022, jumlah kejadian karhutla selalu di bawah 300, tapi saat ini jumlah kejadian karhutla sudah tembus lebih dari 300.

Manis di bibir, memutar kata

Joko Widodo sudah menjabat sebagai presiden Indonesia selama dua periode, yakni pada 2014-2019 dan 2019-2023. 20 Oktober ini menandakan sembilan tahun kepemimpinan Jokowi di Indonesia.

Lalu, apa saja yang dilakukan pemerintahan Jokowi untuk menanggulangi krisis iklim yang terjadi?

Pada 2015, Indonesia jadi salah satu negara yang menandatangani Perjanjian Paris (Paris Agreement). Di bawah perjanjian itu, negara-negara menyerahkan janji mereka untuk mengurangi emisi, yang dikenal sebagai Nationally Determined Contribution (NDC).

Pemerintah RI pun menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional hingga 2030.

Namun demikian, komitmen tersebut dikritik. Climate and Energy Researcher Greenpeace Indonesia Aldila Isfandari menilai komitmen itu cukup longgar melihat dari revisi yang diambil dari NDC yang telah di-submit sebelumnya.

Tak hanya itu, Aldila menilai dari sektor energi dan BAU (Business As Usual) menuju 2030 masih longgar yang membuat komitmen untuk memenuhi target penurunan emisi gagal tercapai.

"Bicara soal gagal, sebenarnya kalau kita lihat NDC Indonesia yang sudah di submit bahwa kita bilang mau kurangi emisi kaca 29 persen di 2030 masih sangat tidak ambisius. Jadi sebenarnya komitmen ini dinilai longgar. Indonesia sudah gagal memenuhi itu," kata Adila saat itu.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP 26 yang digelar di Glasgow, Skotlandia, 2021 silam, Jokowi menyampaikan pidatonya mengenai krisis iklim. Dalam pidatonya, Jokowi mengatakan bahwa perubahan iklim adalah "ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global".

Infografis Klaim-klaim Jokowi di Pidato Perubahan IklimKlaim-klaim Jokowi di Pidato Perubahan Iklim (Foto: Indonesia/Basith Subastian)

Basa-basi emisi di halaman selanjutnya...

Basa-basi Tekan Emisi

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat