Jakarta, Indonesia --
Karier ilmuwan Thomas Sutikna (59), anggota tim penelitian Liang Bua, NTT, yang menemukan manusia purba Homo Floresiensis aliap978s manusia Hobbit pada 2003, tak bisa lepas dari hasrat membuktikan teori evolusi manusia dan pengaruh sosok fantasi.
Pria kelahiran 16 November 1963 ini memang memulai kecintaannya pada arkeologi saat ia melahap pelajaran sejarah, terutama terkait propaganda rantai yang hilang (missing link) dalam sejarah evolusi manusia, di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).
"Saya masih ingat betul waktu SMP itu ada kata-kata 'missing link' itu maksudnya apa sih gitu, antara manusia purba sama manusia sekarang," kata dia kepada Indonesia.com, 22 September.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Artinya, manusia purba yang dianggap setengah manusia setengah monyet kemudian dengan manusia lebih tegak dan sebagainya," lanjutnya.
Kesenangannya itu juga dibarengi dengan tingginya intensitas membaca tentang buku sejarah kuno, masa-masa neolitikum-megalitikum.
"Kemudian beberapa kali datang ke situs Sangiran waktu sehingga kok menarik sekali kan kita seolah-olah misteri di masa lalu yang belum terpecahkan," kata dia.
Tak ketinggalan, Thomas mengaku semakin termotivasi buat mendalami arkeologi buntut film Indiana Jones, yang dibintangi aktor Harrison Ford.
"Tahun-tahun itu boom-boom-nya film Indiana Jones tahun 80 sekian. Nah, itu semakin menambah, artinya kita sudah ada passion tapi kemudian ditambah cerita-cerita semacam itu itu akan lebih memantik kita untuk lebih banyak belajar," aku arkeolog kelahiran Gunung Kidul, DIY itu.
Indiana Jones merupakan serial film fiksi yang bercerita tentang pencarian harta karun dan benda purbakala di berbagai tempat eksotik dunia.
Lulus SMA, Thomas memantapkan pilihan dengan masuk Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Negeri Solo (UNS). Itu pun karena universitas itu tak punya jurusan Arkeologi.
"Ternyata di sana tidak ada arkeologi jadi hanya sejarah saja, tapi sejarah kuno tapi tetep sampai selesai pada tahun 1990-an," ujar dia.
Suami dari Retno Susanti ini kemudian hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan studi S2 di program studi arkeolog di Universitas Indonesia.
Tak hanya kuliah saja, ia pun mencari banyak ilmu arkeolog di luar kampus, sampai akhirnya dipertemukan oleh R.P Soejono yang merupakan salah seorang tokoh dan perintis arkeologi Indonesia, sekaligus mantan Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Jakarta.
Lelaki yang memiliki hobi memancing dan membaca itu juga menjadi asisten dosen Soejono yang kala itu juga mengajar di UI.
Ia kemudian mengenang masa-masa awal ketika dibimbing oleh Soejono. Thomas merasa benar-benar digembleng untuk penelitian di lapangan sekaligus menjadi asisten peneliti Soejono. Tak jarang, Thomas juga dilibatkan ketika ada penelitian dengan ilmuwan asing.
Tak ayal, transfer pengalaman dan ilmu dari Soejono menjadi bekal yang baik sehingga Thomas masyhur di bidang penelitian benda kuno saat ini.
Perjalanan studi Thomas kala mengenyam S2 tak hanya di UI saja. Ia juga harus bolak-balik ke Bandung untuk melengkapi ilmu di bidang geologi di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Meski demikian, ia tidak tercatat secara resmi sebagai mahasiswa ITB. Thomas hanya 'numpang' belajar di kampus itu agar punya latar belakang keilmuwan di bidang geologi.
Menurut pria yang dianugerahi sebagai alumni berprestasi UNS pada 2015 itu, arkeolog harus punya dasar ilmu geologi untuk bekal meneliti di lapangan.
"Saya kuliah di UI untuk formalnya arkeologi prasejarah. Tetapi saya juga waktu itu mengambil mata kuliah di ITB di Jurusan Geologi karena mau tidak mau kalau arkeologi prasejarah itu harus berkaitan erat dengan geologi karena situsnya di tempat landscape sehingga kita harus mengerti minimal punya basic tentang geologi," urainya.
Awal mula aksi Indiana Jones di halaman berikutnya...
Cerita Thomas di lingkup penelitian berawal saat ia diajak ke lapangan untuk melakukan survei di wilayah Pacitan, Jawa Timur, oleh Soejono pada 1994.
Saat itu ia diajak meneliti gua di Pacitan. Namun itu masih sekadar hunian prasejarah yang terbilang muda, 5.000 sampai 6.000 tahun silam.
"Jadi masih di levelnya pre-neolitik sampai ke neolitik. Alat-alat batu, tulang-tulang, dan sebaginya. Cuman untuk gua tidak asing lagi bagi saya, selama kuliah di UNS dulu kan saya anggota Mapala sampai puluhan tahun sampai lulus pun masih dan juga di rescue dan waktu itu saya juga sering eksplorasi dari gua-gua bawah tanah," tuturnya.
Sejak 1983, ia sudah aktif di organisasi mahasiswa pecinta alam dan juga di rescue sehingga sudah biasa keluar masuk hutan, naik gunung, dan keluar masuk gua.
Saat penelitian itu, Thomas mengaku banyak bersinggungan dengan para peneliti asing yang merupakan kolega Soejono. Di situlah Thomas mendapat 'ilham' kalau untuk menjadi peneliti hebat haruslah memperbanyak ilmu baik formal maupun non formal.
Usai menyelesaikan studi di UI pada 2000-an, ia diajak Soejono bersama Maerk Wood yang dari Australia untuk melanjutkan penggalian di situs Liang Bua, Flores tempat ia menemukan manusis hobbit.
Thomas mengaku penemuan itu sudah dilakukan tinjauan awal oleh peneliti asing pada 1965. Namun hanya sekali lagi saja, dan kemudian dilanjut oleh Soejono 1978-1989.
Lagi-lagi penelitian itu terhenti lama sekali dan dilanjutkan lagi 2001 oleh Soejono yang saat itu menjabat juga sebagai Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Dalam penelitian di Liang Bua, ia langsung ditunjuk sebagai koordinator di lapangan untuk mulai riset.
Ia mulai menentukan bagaimana proses penggalian, menentukan titik galian dan mengatur personel hingga mengatur bagaimana metode pengambilan sampel.
Pada awal penelitian di Liang Bua 2001, tim peneliti sudah menemukan satu tulang manusia kuno dikedalaman 4,5-5 meter. Penelitian di wilayah itu makin menemukan titik terang tak kala menemukan gigi gajah purba yang umurnya sudah sangat tua gitu.
Pada 2003, tim peneliti masih melakukan eksplorasi di wilayah Liang Bua. Kemudian pada 2 September 2003 akhirnya tim penrliti menemukan rangka yang hampir utuh yang kemudian disebut Homo Floresiensis.
[Gambas:Infografis CNN]
"Pas kami temui itu saya ada di hotel waktu itu kita punya buat lab kecil di hotel untuk preparasi temuan-temuan arkeologis dari gua itu," tuturnya.
Thomas menceritakan, Wahyu Saptomo, tim peneliti lapangan yang terlibat dalam penemuan manusia hobbit kemudian menjadi tim lapangan yang pertama kali melihat kerangka manusia hobbit di kedalaman 6 meter.
Sontak, Thomas yang kala itu tengah berbaring di hotel karena demam langsung bergegas ke area penggalian.
"Ketika (tengkorak) dibersihkan kaget semua karena giginya sudah tumbuh semua sudah gigi permanen malah sudah pada aus tapi kok kecil sekali hanya sebesar jeruk bali kepalanya," kata dia.
Artinya, kalau gigi sudah tumbuh semua, paling tidak individu yang ditemukan itu sudah di atas 25 tahun usianya. Kemudian mulai detik itu makin kaget, ternyata itu bukan anak-anak tetapi individu dewasa dengan postur tubuh yang kerdil.
Dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengeraskan kerangka dan membersihkan tanah-tanah yang melekat.
Setelah beberapa bulan proses pembersihan, peneliti asing dari Australia datang bersama tim arkeolog yang ahli manusia purba kemudian dianalisis.
"Kita ukur tingginya berapa, volume otaknya berapa, kita deskripsikan semua. Jadi pengukuran otak dulu volume otaknya 380 cc," kata dia.
[Gambas:Photo CNN]
Usai mengukur panjang tulang paha dan tulang kakinya, ia mendapati tinggi manusia itu sekitar 1,06 meter.
"Jadi 106 centimeter dengan usia 60 ribu tahun," ujarnya, "Disitulah kemudian ramai menjadi polemik berkepanjangan menjadi berdebatan yang panjang di dunia ilmu pengetahuan."
Thomas mengatakan fosil purba itu masih utuh karena tertutup oleh lapisan dari letusan gunung api setebal 50-75 centimeter.
"Nah, abu vulkanik terutama yang banyak mengandung batu apung ini mengandung silika tinggi dan itu bagus untuk konservasi untuk preservasi organik yang ada di bawahnya," tuturnya.
Meski rangka yang ditemukan itu sudah rapuh, ia menyebutnya relatif masih bagus dan belum hancur total.
Ia dan tim menduga temuan ini adalah cabang kerdil dari Homo erectus, spesies manusia pertama yang meninggalkan Afrika dan bermigrasi ke seluruh dunia.
Penelitian itu pun disebut Thomas masih berlangsung. Namun karena pandemi tim tidak ke lapangan dan di tahun mendatang ia berharap bisa melanjutkan penelitian.
Perubahan nasib di halaman betrikutnya...
Pasca-publikasi manusia hobbit ke berbagai negara, nama Thomas terbilang harum di bidang penelitian benda purbakala. Terlebih, itu jadi yang pertama buat arkeolog Indonesia menjadi penemuan yang gemilang di era modern.
Ia pun kebanjiran panggilan untuk mengisi workshop dan seminar. Dari segi jejaring, ia mengaku hal ini berdampak signifikan ketimbang sebelum menerbitkan penemuan ini.
Hasilnya, Thomas punya kesempatan untuk membuat publikasi lebih banyak lagi dan bisa berkiprah di dunia arkeologi lebih luas lagi.
"Artinya menempatkan Indonesia pada sebagai negara yang dari segi scientific berkaitan dengan arkeologi tidak main-main," tutur penerima Thomas penerima Thomson-Reuters Highly Cited Researchers, London, Inggris 2014-2016, itu.
Pada akhirnya, ia bisa menempuh studi S3 di Universitas Wollongong, Australia. Ia kemudian lulus dan menjadi pembimbing mahasiswa S3 di sana.
Lembali ke Indonesia pada 2021, ia bergabung dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk berkarier di lembaga riset raksasa ini.
Di BRIN, Thomas mengaku memiliki banyak program dalam beberapa waktu ke depan untuk mempertahankan networking dengan penelitian dan pengembangsn di wilayah Flores ini.
[Gambas:Infografis CNN]
"Flores ini baru satu situs hanya di situs Liang Bua kita belum menemukan situs-situs lain. Kalau seandainya Homo Floresiensis ini bisa sampai Flores kemungkinan tempat-tempat lain juga ada, ini sedang kita survei dan jajakin supaya ketemu di tempat lain juga sehingga lebih mudah kita lakukan analisis ataupun menarik sebuah simpulan yang lebih komprehensif," tuturnya.
Kini, Thomas yang menerima pengragaan Field Discovery Award dari Shanghai Archaeology Forum (SAF) , Shanghai, China, 2017 berharap generasi selanjutnya bisa menerima tongkat estafet penelitian di wilayah Flores.
Pasalnya, penelitian ini terbilang langka dan menjadi penemuan besar dalam sejarah arkeologi dalam negeri.
Ia mengaku kalau setiap tahunnya tim selalu membawa mahasiswa dari beberapa universitas secara bergantian agar nantinya mereka yang akan mengambil alih riset mereka.