yoldash.net

Netizen Sambut Kemenangan Bima, Sindir Keadilan Tiba Hanya Jika Viral

Warganet membanggakan kekuatan suara medsos sambil menyindir tindakan polisi yang diduga bergantung pada 'delik viral'.
Ilustrasi. Netizen menyindir delik viral di penyetopan kasus Bima. (iStockphoto/metamorworks)

Jakarta, Indonesia --

Netizen menyindir keadilan baru didapat cuma jika viral terkait penyetopan penyelidikan terhadap TikToker Bima Yudho Saputro dalam kasus Lampung 'Dajjal'.

Sebelumnya, video Bima soal bobroknya pembangunan di Lampung viral di medsos. Pengacara yang pernah jadi tim hukum Gubernur Lampung Arinal Djunaidi, Gindha Amsori Wayka, melaporkannya dalam kasus UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), 10 April.

Delapan hari berselang, polisi menyetop penyelidikan kasus ini usai gelar perkara, meminta keterangan sejumlah ahli, dan memeriksa pelapor.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Hasilnya, disimpulkan bahwasanya perkara ini bukan tindak pidana," kata Kepala Bidang Humas Polda Lampung Zahwani Pandra Arsyad, Selasa (18/4).

ADVERTISEMENT

"Kami menyimpulkan bahwa ini tidak dapat ditingkatkan ke penyidikan, dikarenakan alat bukti yang kami dapat bahwasanya perbuatan terlapor bukan tindak pidana," tuturnya.

Warganet pun menyambut riuh penghentian penyelidikan itu.

"Kemenangan kita semua Netizen Indonesia yang sayang sama Bima," kicau akun @StefanAntonio__.

[Gambas:Twitter]

Namun, banyak pula yang mengkritisi kenapa baru sekarang disetop. Padahal, aroma kriminalisasi terhadap pengkritik kental dalam laporan itu.

"Kenapa baru sekarang. Kurang SAT SET," kicau @DirjenAntiAging.

[Gambas:Twitter]

"Ambil sikapp kok plin plan...hrsnya dari awal spt itu klo mmg pake hati nurani.." @MoneMane4

[Gambas:Twitter]

Beberapa penduduk medsos pun menduga pada dasarnya keadilan hanya datang jika jadi viral lebih dulu di dunia maya.

"Kenapa ?? Takut di kulitin netizem ? Kwkw" seloroh @Here_Wee_Go.

[Gambas:Twitter]

"Dirujak dulu, baru dihentikan....." imbuh akun @sikatKawat_.

[Gambas:Twitter]

"akhirnya ada juga common sense hadir, Go Viral Got Justice," kicau akun @susieeeID.

[Gambas:Twitter]

"Tanpa viral, keadilan dan hukum positif akal sehat adalah nothing," keluh @NottyAdie.

[Gambas:Twitter]

Delik viral

Masalah keputusan penegak hukum yang mengikuti tren di dunia maya alias delik viral ini sebenarnya sudah lama disoroti dalam sejumlah kasus.

Contohnya, dalam kasus pemerkosaan mahasiswi NW oleh anggota polisi Bripda Randy Bagus Sasongko, 2022. Korban ditemukan meninggal dunia di samping pusara ayahnya usai menenggak racun.

NW diketahui bunuh diri karena mengalami kekerasan seksual bertubi-tubi oleh anggota Polres Pasuruan dan dipaksa menggugurkan kandungan.

Usai viral, Randy diproses hukum dan divonis bersalah dengan sanksi 2 tahun bui. Putusan banding memperberatnya menjadi 5 tahun penjara.

Ada pula kasus pemerkosaan anak di Luwu Timur yang diduga dilakukan oleh ayahnya. Kasus ini dihentikan penyelidikannya dengan dalih tak cukup bukti.

Tak ketinggalan, kasus perundungan dan kekerasan seksual terhadap pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berinisial MS.

Sempat melapor ke Polsek Gambir pada 2019, korban disuruh pulang dan menyelesaikannya via atasan. Kasus ini baru dibuka kembali setelah MS mengungkapnya ke media massa dan media sosial.

Peneliti kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyebut kepolisian memang cenderung bergerak setelah kasus viral di media sosial, terutama kasus kekerasan seksual.

"Fakta yang terjadi kasus-kasus itu diangkat kembali ketika menjadi viral. Kasus-kasus yang terungkap ini sebetulnya adalah puncak gunung es dari problem mindset kepolisian terkait kekerasan pada perempuan," kata Bambang, Senin (6/12/2022).

"Kalau diungkap, banyak sekali, hanya saja ini masih tidak terungkap dan juga muncul ketakutan-ketakutan pada korban untuk mengungkap," ujarnya.

Pengamat hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai penegakan hukum tidak bisa dilakukan dengan basis keriuhan di media sosial. Dia khawatir kasus-kasus yang tidak viral di media sosial akan diabaikan polisi.

"Belum tentu setiap kasus bisa viral. Kemampuan orang beda-beda untuk memviralkan. Oleh karena itu, polisi jalankan fungsinya sebagai penegak hukum dengan benar tanpa membedakan kasus mana atau siapapun yang terlibat dalam pelanggaran hukum," ujar dia, Senin (6/12/2022).

"Inti dari [slogan] Presisi itu kan responsibilitas, seberapa cepat polisi melakukan tugasnya sebagai penegak hukum," tuturnya.

Kapolri Listyo Sigit pernah menyoroti fenomena tanda pagar (tagar) #PercumaLaporPolisi, #1Hari1Oknum, hingga #NoViralForJustice.

"Muncul fenomena No Viral No Justice. Jadi kalau tidak diviralkan, maka hukum tidak berjalan," ucapnya, Desember 2021.

"Mereka melihat bahwa yang diviralkan kecenderungannya akan selesai dengan cepat. Ini tentunya adalah fenomena yang harus kemudian kita evaluasi kenapa ini bisa terjadi," tambah Sigit.

Mantan Kabareskrim Polri itu meminta agar jajaran anak buahnya dapat menerima semua persepsi-persepsi yang muncul di publik terkait dengan kinerja kepolisian.

Dia menegaskan bahwa kritik tersebut merupakan waktu bagi organisasi untuk memperbaiki diri, berbenah dan memberikan yang lebih baik.

"Untuk memenuhi harapan masyarakat," imbuh Sigit.

(tim/arh)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat