yoldash.net

Ahli Ungkap Alasan Jangan Sisakan Nasi di Piring: Bumi Kian 'Menangis'

Kontrol pola makan dan pemilahan jenis panganan dinilai bisa berdampak baik terhadap perubahan iklim. Simak penuturan ahli berikut.
Ilustarsi. Pakar mengungkap efek sisa nasi terbuang pada Bumi. (stockphoto/ Taa22)

Jakarta, Indonesia --

Makanan yang kita santap, termasuk beras, dan industri pertaniannya saat ini bisa memicu pemanasan global setara dengan semua aktivitas manusia sejak revolusi industri. Sisa panganan yang terbuang pun berkontribusi signifikan.

Diketahui, Bumi menghangat sekitar 1,1 derajat Celcius sejak zaman pra-industri. Tak banyak terasa langsung memang, tetapi ini adalah pemicu utama cuaca yang lebih ekstrem dan bencana alam.

Dengan status quo saat ini saja, emisi gas rumah kaca dari sistem pangan dapat membuat planet ini 'menangis' kepanasan hingga bisa melampaui perjanjian iklim Paris.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Catherine Ivanovich, kandidat PhD dari Columbia University, pun meneliti dampak makanan terhadap perubahan iklim dalam, studi berjudul Future warming from global food consumption di jurnal Nature Climate Change.

ADVERTISEMENT

"Konsumsi makanan adalah sumber utama emisi gas rumah kaca (GHG) dan mengevaluasi dampak pemanasannya di masa depan sangat krusial untuk memandu mitigasi iklim," tulisnya.

Dalam studinya, dia mempelajari kandungan gas dari 94 makanan yang berasal dari 115 studi serta 206 estimasi penjabaran gas per satu jenis atau kelompok makanan.

Menurut penelitiannya, jika dunia terus memproduksi dan mengonsumsi makanan seperti sekarang ini, sektor pangan saja dapat menyebabkan planet ini bertambah panas 0,9 derajat Celcius.

"Kami menemukan bahwa konsumsi makanan global saja dapat menambah pemanasan hampir 1 derajat celsius pada 2100. Sebanyak 75 persen dari pemanasan itu bersumber dari makanan yang mengandung metana yang tinggi (daging, produk olahan susu, dan nasi)."

Tim ahli menyebut gas metana merupakan gas rumah kaca yang 80 kali lebih kuat daripada karbon dioksida dalam beberapa dekade pertama setelah dilepaskan.

Apa saja jenis makanan yang rawan gas rumah kaca ini?

Mengutip The Verge, Ivanovich mengungkap urutan pertama pemicu perubahan iklim adalah daging sapi dan daging binatang pemamah baik lainnya, mamalia berkuku dengan empat kompartemen perut seperti kambing dan domba.

Ketika mereka bersendawa, sapi mengeluarkan metana. Kotoran mereka juga melepaskan metana dan gas rumah kaca kuat lainnya, dinitrogen oksida.

Masalahnya, konsumsi daging global meningkat 500 persen antara 1992 hingga 2016, seiring dengan pertumbuhan populasi, pendapatan, dan adopsi lebih banyak pola makan Barat di seluruh dunia.

Ranking berikutnya adalah beras dan produk olahan susu (dairy). Menurut peneliti, sawah merupakan lahan yang subur untuk 'memanen' mikroba yang memproduksi gas metana. Selain itu, nasi juga makanan pokok bagi sebagian besar warga dunia.

Itulah mengapa nasi meninggalkan jejak lingkungan yang sangat besar. Meskipun, berdasarkan per kalori, nasi dan makanan nabati lainnya jauh lebih sedikit menghasilkan gas rumah kaca daripada makanan hewani.

Taktik sulit

Para penulis penelitian baru menyoroti tiga langkah besar yang harus diambil untuk membatasi polusi gas rumah kaca dari makanan. Strategi ini dinilai dapat mengurangi potensi pemanasan global hingga lebih dari setengahnya.

Yang paling sulit adalah manusia beradaptasi dengan risiko iklim dengan mengubah pola makan kita. Para peneliti tidak meminta sesuatu yang ekstrem atau bahkan meminta orang-orang jadi vegetarian.

Berdasarkan pemodelan, peneliti menemukan pengurangan 55 persen dalam kontribusi sektor makanan terhadap pemanasan global di masa depan didasarkan pada orang-orang yang mengikuti rekomendasi diet sehat dari Harvard Medical School.

Rekomendasi tersebut termasuk diet kaya protein yang mengurangi lemak jenuh dan kolesterol.

Hal itu kemungkinan mengharuskan penduduk negara yang lebih makmur mengurangi konsumsi daging mereka, sementara orang di negara lebih miskin mungkin meningkatkan jumlah daging yang dikonsumsi.

Strategi selanjutnya, kata Ivanovich, adalah pengelolaan limbah sisa makanan. Sekitar sepertiga dari produksi pangan dunia hilang atau terbuang percuma, yang kemudian menghasilkan emisi metana di tempat pembuangan sampah.

Membuang lebih sedikit makanan akan sangat penting untuk upaya mengatasi perubahan iklim, dan itu dapat dicapai melalui perbaikan yang relatif sederhana seperti pengecer yang menawarkan produk dalam kemasan yang lebih kecil.

"Adopsi diet sehat yang universal, dan pengurangan sampah makanan di level retail dan konsumen".

Terpisah, Brent Kim, manajer program riset di John Hopkins Center mengungkapkan, selain faktor teknologi, faktor psikologis dan perilaku manusia juga ikut berperan.

"Ada kekhawatiran yang valid bahwa jika kita terlalu bergantung kepada teknologi, kita akan tidak menghiraukan perilaku dan intervensi kebijakan lain yang harusnya kita butuhkan," kata Kim.

"Benar-benar ada peran teknologi, Ya. Tetapi saya berpikir hal itu harus dipandang secara holistik, Perubahan iklim adalah masalah yang sangat parah dan mendesak, tidak akan pernah cuma ada satu 'peluru perak' yang sanggup menyelesaikannya," katanya, merujuk pada senjata pamungkas pembunuh vampir.

(lth/lth)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat