FBI Nyaris Tergoda Pakai Pegasus buat Selidiki Kasus, Bagaimana RI?
Biro Investigasi Federal (FBI) Amerika Serikat (AS) pernah hampir tergoda menggunakan spyware Pegasus untuk menyelidiki kasus dan bahkan pernah menguji coba Phantom, Pegasus versi AS.
Pegasus merupakan perangkat lunak mata-mata atau spyware yang dikembangkan, dipasarkan, dan dilisensikan khusus untuk pemerintahan oleh perusahaan Israel NSO Group. Pegasus memiliki kemampuan menginfeksi miliaran ponsel yang menjalankan sistem operasi iOS atau Android.
Pada 2021, FBI, lembaga semacam Bareskrim Polri namun dengan struktur yang independen seperti KPK, dilaporkan pernah mempertimbangkan penggunaan perangkat lunak tersebut untuk melakukan investigasi kasus.
Pada Juli 2021, FBI akhirnya memutuskan untuk tidak menggunakan Pegasus dalam investigasi kriminal. Padahal, rencana penggunaan spyware ini sudah memasuki tahap akhir. Sejauh ini, tidak jelas target mata-mata di kasus itu.
Pada bulan yang sama, sebuah penyelidikan dari The Washington Post mengklaim Pegasus telah digunakan untuk menyusupi ponsel dua wanita yang dekat dengan jurnalis yang terbunuh di Kedutaan Besar Arab Saudi di Turki, Jamal Khashoggi.
Beberapa bulan kemudian, AS menempatkan pembuat Pegasus NSO Group di daftar hitam entitas Departemen Perdagangan. Daftar tersebut mencegah perusahaan AS melakukan bisnis dengan perusahaan tersebut.
Terlepas dari keputusan untuk tidak menggunakan Pegasus, FBI mengindikasikan tetap terbuka untuk menggunakan spyware di masa depan.
Menurut laporan The New York Times, FBI pernah melakukan pengembangan perangkat lunak serupa Pegasus bernama Phantom dan menguji cobanya pada awal 2022.
Phantom sendiri diketahui memiliki kemampuan seperti Pegasus, yakni memata-matai pengguna lewat ponsel mereka tanpa bisa dicegah.
"Hanya karena FBI pada akhirnya memutuskan untuk tidak menggunakan alat tersebut untuk mendukung investigasi kriminal, bukan berarti FBI tidak akan menguji, mengevaluasi, dan berpotensi menggunakan alat serupa lainnya untuk mendapatkan akses ke komunikasi terenkripsi yang digunakan oleh penjahat," kata sebuah dokumen hukum yang ditulis FBI pada bulan lalu, seperti dikutip Engadget.
Dugaan penggunaan 'alat canggih' oleh institusi negara untuk memantau pihak tertentu sebelumnya sempat diungkap oleh Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar.
"Negara punya alat canggih dan infrastruktur yang menutup celah bagi kami (aktivis) untuk tak terpantau," kata dia, dikutip dari Majalah Tempo edisi Senin, 29 Juni 2020.
Contoh kasus yang mengemuka adalah pembajakan WhatsApp milik aktivis Ravio Patra pada 2020 dan sejumlah jurnalis Narasi pada 2022.
Pada 2020, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono pernah membantah penyadapan aktivis itu.
"Sebenarnya tidak ada [penyadapan aktivis] ya. Kami terbuka dalam demokrasi ini. Siapapun boleh menyampaikan pendapat, yang penting sesuai dengan aturan yang kita punya," ujarnya, di Bareskrim Polri, Rabu (1/7).
(lom/arh)[Gambas:Video CNN]