yoldash.net

Refleksi Ujung Kompetisi, Liga 1 Tak Seharusnya Cuma Sekadar Tontonan

Menjelang empat partai tersisa pada Liga 1 musim ini, ada sebuah missing link yang menganga antara korelasi kompetisi dan Timnas Indonesia.
Borneo FC yang menjadi pemuncak musim reguler gagal melangkah ke final championship series. (ANTARA/Rizal Hanafi)

Jakarta, Indonesia --

Liga 1 2023/2024 memasuki penghujung musim. Partai final dalam rangkaian championship series akan mempertandingkan Persib Bandung vs Madura United pada Minggu (26/5).

Laga yang mempertemukan Pangeran Biru dengan Laskar Sape Kerrab itu merupakan partai bertajuk 'final' perdana sejak era Liga 1 bergulir mulai 2017. Musim ini adalah kali pertama Liga 1 menerapkan konsep regular series dan championship series.

Format regular series serupa dengan musim-musim sebelumnya. Lalu empat tim teratas klasemen akhir akan diadu dalam championship series dan pertemuan Persib Bandung dengan Madura United adalah klimaksnya untuk musim ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Konsep liga yang berbeda otomatis juga memengaruhi jumlah pertandingan dari yang sebelumnya 306 laga bertambah delapan jadi 314 pertandingan. Ini juga berdampak pada jadwal liga yang biasanya kelar pada April, kini baru rampung pada akhir Mei.

Salah satu alasan PT Liga Indonesia Baru (LIB) mengubah format liga demi meningkatkan aura kompetitif di setiap musim. Sebab tim yang finis teratas di regular series tidak serta merta jadi juara liga. Skenario paling pahit dan paling manis bisa terjadi pada siapapun pihak yang menapak posisi empat besar.

Borneo FC yang dominan sepanjang musim ternyata antiklimaks lantaran dibungkam Madura United pada babak semifinal. Sebaliknya bagi Madura United, klimaks bisa terjadi karena mereka finis di peringkat empat dan kini berkesempatan jadi juara.

Bagi kubu Borneo FC, situasi ini jelas mengecewakan. Di saat yang sama, kemenangan Madura United berpotensi jadi kado manis bagi para suporter yang mendambakan gelar Liga 1 pertama dalam sejarah tim.

Bagi penonton umum, konsep anyar yang ditawarkan LIB dapat jadi magnet tersendiri lantaran rangkaian pertandingan. Dengan jumlah laga yang bertambah, Liga 1 bisa pula jadi daya tarik bagi sponsor agar nampang lebih sering.

Di satu sisi, konsep ini juga mau tak mau menggiring klub untuk visioner dalam menjalani musim kompetisi yang tidak langsung selesai dalam 38 pekan. Kiranya perjalanan Borneo FC perlu jadi pelajaran.

Liga 1, seperti kompetisi di negara-negara lainnya, adalah pentas utama para pemain dalam unjuk gigi. Siapa main bagus, terbukalah kesempatan untuk bermain di tim nasional. Dari sini, jelas bahwa liga tak semestinya cuma sebatas tontonan.

Baca lanjutan artikel ini di halaman selanjutnya>>>

Dalam memilih pemain tim nasional, roda kemudi ada di tangan Shin Tae Yong, Juru taktik asal Korea Selatan punya kendali penuh untuk menentukan pemain yang akan dibawa ke skuad.

Sejauh ini, Persija Jakarta jadi klub dengan penyumbang pemain terbanyak di berbagai kelompok usia hingga ke tim senior. Lalu diikuti dengan tim-tim lain seperti Persebaya Surabaya hingga PSM Makassar.

Namun ada satu hal yang menarik perhatian. Dalam pemanggilan teranyar Timnas Indonesia jelang Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, dari 22 nama pemain yang dipanggil tidak ada satupun dari mereka yang berasal dari klub peserta championship series.

Nihil pemain Borneo FC, Persib Bandung, Bali United, dan Madura United dalam barisan skuad Garuda terkini. Marc Klok ditinggalkan. Fachruddin Aryanto dan Rachmat Irianto bukan pilihan. Ilija Spasojevic dan Stefano Lilipaly pun sudah lama tak dilirik oleh STY.

Langkah potong generasi STY di tim senior adalah logis jika melihat pencapaian Timnas Indonesia di dua ajang penting yakni Piala Asia 2023 dan putaran kedua Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Toh, di tim junior STY masih percaya kepada pemain-pemain dari empat klub peserta championship series tersebut.

Yang jadi persoalan adalah daya saing pemain Liga 1 yang secara tak langsung berpengaruh pada suplai pemain ke Timnas Indonesia. Bicara lini depan misalnya, hanya Stefano Lilipaly yang masuk ke dalam jajaran top skorer dan itupun berada di urutan kesembilan. Sisanya adalah pemain berpaspor asing yang subur dalam urusan mencetak gol.

Lalu bicara assist, Lilipaly tercatat jadi yang teratas di antara seluruh pemain Liga 1. Tapi pemain 34 tahun itu tak menarik hati STY. Faktor usia dan kebutuhan taktik jadi dua penyebab Lilipaly terakhir dipanggil timnas pada November tahun lalu dalam putaran pertama kualifikasi piala dunia.

Banner Testimoni

Di satu sisi, dalam setahun terakhir STY mengandalkan pasokan pemain keturunan untuk membela Timnas Indonesia. Ada 11 pemain yang dinaturalisasi selama era STY dan 10 di antaranya sudah berseragam dengan lambang Garuda di dada.

Dampaknya? Indonesia lolos fase gugur Piala Asia untuk pertama kalinya. Wakil Merah-Putih juga punya kesempatan besar lolos ke putaran ketiga kualifikasi piala dunia. Tak lupa pula, peringkat FIFA naik signifikan.

Pencapaian Indonesia merupakan hal yang layak diapresiasi. Tapi jangan lupa pula, kecenderungan pemain klub papan atas justru kalah saing dengan nama-nama lain adalah indikasi adanya sambungan benang yang hilang atau 'missing link' atas kualitas kompetisi dan korelasinya dengan Timnas Indonesia.

Sambungan benang inilah yang mesti jadi fokus operator kompetisi dan PSSI. Liga 1 tak boleh sebatas hiburan pelepas penat pemirsa, tapi juga harus jadi kawah candradimuka pemain menuju tim nasional.

[Gambas:Video CNN]

Jalan Panjang Kompetisi, Perlu Sejalan dengan Perkembangan Timnas

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat