Jakarta, Indonesia --
Saya bangga pernah menjadi duta Indonesia dan membawa bendera Merah Putih di pesta-pesta olahraga terkemuka, mulai SEA Games, Asian Games, hingga Olimpiade.
Meskipun sudah langganan juara dan getol main tenis sejak kecil, saya sebenarnya memiliki impian menjadi dokter. Tetapi pada masa SMA, saya harus memilih antara merintis jalur akademis atau fokus menjadi atlet.
Saya kemudian memutuskan jalan hidup sebagai atlet. Pilihan yang membuat saya berada di tempat sekarang ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya muncul di pentas nasional pada era 1980-an akhir. Pada saat itu cukup susah menembus persaingan tenis dalam negeri karena terdapat nama-nama besar seperti Suharyadi atau Wailan Walalangi.
Lewat perjuangan yang tidak mudah dan semangat pantang menyerah, saya kemudian bisa bersaing dan berada satu level dengan pemain-pemain macam Suwandi, Andrian Raturandang, dan lain-lain. Kami membela Indonesia di berbagai kejuaraan multi-event maupun single event tenis seperti Piala Davis.
SEA Games ibaratnya adalah ajang rutin yang saya ikuti setiap dua tahun sekali. Saya banyak meraih medali di level Asia Tenggara ini, baik dalam sektor perorangan maupun beregu.
Menurut saya yang paling berkesan di level SEA Games terjadi pada 1997. Saya bisa menyumbangkan medali emas di nomor ganda putra dan beregu putra. Tentu saja emas SEA Games lainnya, di sektor beregu putra dan ganda campuran, pada 2001 juga menyenangkan untuk diingat.
Ketika berlaga di tingkat yang lebih tinggi, Asian Games, saya juga merasakan podium. Pada 1990 saya meraih tiga perunggu di sektor ganda putra, ganda campuran, dan beregu putra. Empat tahun berselang saya bisa menyumbangkan perak di sektor beregu putra.
Sementara Olimpiade sudah saya rasakan pada 1992. Ketika itu saya bermain di sektor ganda putra bersama Suharyadi.
Pada babak pertama kami menghadapi pasangan Korea Selatan Chang Eui Jong/Kim Chi Wan. Kami menang dalam pertandingan alot, 6-1, 6-7 (6-8), 4-6, 6-3, dan 6-2.
Setelah itu pada babak kedua saya dan Suharyadi bertemu pasangan Kroasia Goran Ivanisevic/Goran Prpic. Sayang, kami kalah 5-7, 2-6, dan 2-6. Ivanisevic/Prpic kemudian melangkah hingga babak semifinal dan meraih perunggu.
Meski hanya sampai babak kedua, tetapi pengalaman di Olimpiade tidak ada duanya. Saya bisa berhadapan dengan Ivanisevic yang saat itu adalah salah satu pemain kenamaan, kemudian melihat petenis-petenis top lainnya seperti Pete Sampras, Jim Courier, Michael Chang, dan Stefan Edberg.
Untuk Piala Davis, saya memperkuat tim Indonesia sejak 1990 sampai 2007. Saya sendiri enggak tahu apakah saya ini jago banget, sampai begitu lama memperkuat tim Indonesia hahahaha.
Jadi saya ini memang cukup lama berpasangan dengan Sulistyo Wibowo dan meraih banyak gelar juga, tetapi bisa dibilang saya punya pengalaman berpasangan dengan pemain-pemain dari tiga era berbeda.
Saya pernah main dengan sosok-sosok senior seperti Suharyadi, Yustedjo Tarik, Tintus Arianto. Sementara yang satu angkatan dengan saya macam Suwandi, Daniel Heryanto, Sulistyo Wibowo juga pernah. Sampai junior-junior saya juga pernah main bareng, ada Christopher Rungkat dan Elbert Sie. Belum lagi pasangan di sektor ganda campuran dari Irawati Moerid sampai Angelique Widjaja.
Yang saya rasakan juga pasti ada faktor regenerasi yang terlambat di situ, sehingga saya harus main begitu lama.
Bonit Wiryawan (tengah) memperkuat tim tenis Indonesia sejak akhir 1980-an hingga dekade kedua 2000-an.(Photo by ADEK BERRY / AFP) |
Saya memang kerap main di sektor ganda, tetapi bukan berarti saya hanya main sebagai spesialis double. Saya juga main di sektor tunggal. Saya punya ranking ATP terbaik untuk tunggal itu di kisaran 500 dunia, sementara untuk ganda sempat masuk 200an dunia.
Mungkin karena orang lebih sering melihat saya juara di sektor ganda, makanya banyak yang mengira saya hanya bermain di sektor ganda. Saya juga pernah main dan menang di sektor tunggal, tetapi memang lebih banyak gelar ketika main berpasangan.
Bukti saya juga bisa 'berbicara' di sektor tunggal adalah saat menjadi penentu kemenangan tim Davis Indonesia pada 1994 dan 1997. Waktu itu saya bermain di sektor ganda dan sekaligus jadi tunggal terakhir.
Menurut pandangan saya main ganda itu lebih fun karena ada partner di lapangan.
Baca lanjutan artikel ini di halaman selanjutnya>>>
Tenis pada awalnya adalah hobi yang benar-benar saya tekuni sedari kecil tanpa pernah mengenal lelah. Sejak kecil itu saya memainkan bermacam-macam olahraga. Lingkungan sosial di daerah Dharma Husada, Surabaya, dan pengaruh orang tua yang juga memahami olahraga membuat saya bisa bermain bulutangkis, sepatu roda, dan cabang-cabang lainnya.
Mengapa saya akhirnya memilih tenis? Jawabannya adalah karena saya merasa tenis memberi tantangan tersendiri. Tenis itu membutuhkan fisik dan inteligensi. Ada rasa puas ketika saya bisa menipu lawan, ada rasa yang terpenuhi ketika saya mampu membuat lawan mati langkah.
Gelar juara kelompok umur sudah saya dapat sejak masih SD, kemudian juga ikut turnamen di luar negeri saat SMP, tetapi saya pikir itu hanya prestasi biasa. Saya masih tidak tahu soal masa depan menjadi atlet. Selain itu saya mengincar sukses di dunia akademis dan bercita-cita menjadi dokter karena ada pakde-pakde saya yang sukses di bidang itu.
Saya sudah mendapat undangan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah khusus atlet di Ragunan, Jakarta, sejak SMP, tetapi saya masih ingin mencoba di dunia akademis yang normal. Selepas lulus dari SMP Petra II Surabaya, saya masuk ke SMA 5 Surabaya.
Pada momen itu saya masih bisa mengikuti dunia akademis dan olahraga secara seimbang, sampai kemudian ketika masuk kelas 2 SMA atau sekarang kelas 11 saya dihadapkan pada kenyataan yang membuat bimbang.
Saya yang masih mengimpikan profesi dokter mengincar jurusan A2 atau IPA, sementara di sisi lain ada tawaran lagi datang dari Ragunan agar saya bersekolah di sana.
Pada akhirnya saya memilih masuk ke Ragunan setelah berembuk dengan orang tua. Itu adalah titik awal saya serius dan fokus menjadi petenis.
Masuk ke Ragunan pada kelas 2 SMA bisa dibilang cukup telat, karena teman-teman saya ada yang sudah masuk sejak SMP atau kelas 1 SMA.
Tentunya kehidupan akademis di SMA Ragunan yang khusus atlet beda dengan SMA umumnya. Saya yang semula memilih A2 kaget karena murid yang ada di jurusan itu hanya satu-dua orang. Saya berpikir lebih baik pindah ke jurusan A3 atau IPS karena kalau hanya sedikit muridnya bisa ketahuan kalau bolos hahahaha.
Bonit Wiryawan (kanan) berpose bersama petenis M Rifqi Fitriadi (kiri) dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo ketika mendapat undangan ke Istana Negara setelah SEA Games 2023. (dok. Pribadi Bonit Wiryawan) |
Sebuah momen yang membuat saya mengubah kehidupan di Ragunan terjadi saat saya mencari teman saya di jam pelajaran. Teman saya ini atlet panahan, di saat jam pelajaran saya tidak melihat dia. Saya pikir dia membolos ke kantin.
Setelah saya minta izin ke guru untuk ke luar kelas, ternyata saya tidak menemukannya di kantin. Saya kemudian melihat teman saya yang atlet panahan itu sedang berlatih di lapangan yang ada di kawasan sekolah.
Dari situ saya berpikir: "Saya sudah jauh dari Surabaya tidak boleh diam saja di sini. Saya di sini bukan untuk enak-enak, saya harus berusaha lebih untuk meraih target."
Saya pun kemudian menambah program latihan dengan membolos di jam-jam pelajaran tertentu. Saya harus selektif juga dalam mencuri jam pelajaran, karena saya tak mau sekolah jadi terlunta-lunta. Di sisi lain saya juga mau meningkatkan kemampuan saya sebagai atlet.
Saat berada di Jakarta saya juga ditarik masuk klub tenis bernama Nugra Santana milik pak Pontjo Sutowo. Dengan demikian saya berlatih di Ragunan dan di Hotel Hilton atau yang sekarang bernama Hotel Sultan. Dari Ragunan, tiap sore saya menuju ke area Semanggi dengan naik bus. Saya sempat punya mobil VW hasil dari masuk klub, tetapi terbakar hahahaha.
Lebih kurang setahun berada di Jakarta, ketika kelas 3, saya kemudian mendapat telepon dari keluarga yang intinya mengajak saya balik ke Surabaya. Sementara saya belum bisa menghasilkan apa-apa. Maka dari itu saya bilang ke orang tua agar menunggu saya dua tahun lagi. Kalau saya tidak bisa menjadi petenis nasional maka saya akan balik ke Surabaya dan berkumpul lagi bersama keluarga.
Di tengah perjuangan membuktikan diri menjadi petenis setelah gagal menjadi dokter, tidak saya pungkiri ada kekhawatiran yang sempat muncul, namun saya tetap teguh pendirian dan memiliki keyakinan.
Pada momen di antara kebingungan, khawatir, dan berusaha tetap yakin dengan cita-cita menjadi atlet tenis, kemudian saya dikenalkan oleh seorang pelatih ke ibu Martina Widjaja. Kemudian menjadi pelatih atau partner tenis bagi teman-teman beliau. Saya melakukan itu agar bisa mendapat penghasilan untuk menyambung hidup. Waktu itu bu Martina belum menjadi Ketua Umum PP Pelti, tapi punya antusiasme tinggi terhadap tenis dan pembinaan tenis di Indonesia.
Saya yang semula hanya menjadi partner tenis serta pelatih bagi ibu Martina dan rekan-rekannya kemudian mendapat tawaran untuk dibina dan diasuh. Saya pun pindah dari klub Nugra Santana ke Super Nugra yang merupakan tim milik ibu Martina dan pak Pontjo.
Dari situ saya mendapat jam latihan tetap, dapat tempat untuk tidur, dibiayai ikut kejuaraan-kejuaraan dan akhirnya bisa menembus level nasional dan masuk jadi anggota tim Indonesia di berbagai ajang bersama atlet-atlet andalan lainnya.
Sekarang saya menjadi pelatih. Sempat pula menjadi pelatih nasional. Tak cuma memberi ilmu teknik soal tenis, saya juga memberi pendampingan motivasi untuk anak didik. Saya mengingatkan agar para pemain bisa memaksimalkan apa yang ada. Saya tidak ingin mereka menyesal di kemudian hari. Jadi latihan dengan baik apapun kondisinya dan jangan sia-siakan kesempatan karena enggak akan datang dua kali.
[Gambas:Video CNN]