yoldash.net

Jurnalis Bali hingga Surabaya Jalan Mundur ke DPRD Tolak RUU Penyiaran

Para jurnalis dan organisasi wartawan di sejumlah daerah terus menyuarakan menolak revisi UU Penyiaran pengekang kebebasan pers, termasuk di Surabaya dan Bali.
Para jurnalis dan mahasiswa saat mendatangi Kantor DPRD Bali, Selasa (28/5). (CNN Indonesia/Kadafi)

Denpasar, Indonesia --

Para jurnalis dan organisasi wartawan di sejumlah daerah terus menyuarakan menolak revisi UU Penyiaran pengekang kebebasan pers, termasuk di Surabaya dan Bali.

Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Koordinator Daerah (Korda) Surabaya melakukan aksi damai menolak RUU Penyiaran yang bisa mengekang kebebasan pers di Indonesia, Rabu (29/5).

Aksi mereka diawali dengan berjalan mundur saat menuju Taman Apsari, atau depan Gedung Negara Grahadi Surabaya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua IJTI Korda Surabaya Falentinus Hartayan menjelaskan aksi berjalan mundur dilakukan untuk menggambarkan bahwa sejumlah pasal dalam RUU Penyiaran yang disusun DPR RI untuk menggantikan Undang-undang (UU) Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran adalah kemunduran bagi kemerdekaan pers Indonesia.

"Karena beberapa pasal di RUU Penyiaran bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," katanya di sela-sela aksi.

ADVERTISEMENT

Falen, sapaan akrabnya mencontohkan Pasal BA huruf (q) dan Pasal 42 Ayat 2 RUU Penyiaran tentang penyelesaian sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tumpang tindih dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Dua pasal RUU Penyiaran ini bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang telah mengatur bahwa sengketa jurnalistik diselesaikan oleh Dewan Pers," ujarnya.

IJTI Korda Surabaya juga menyoroti Pasal 508, Ayat 2 huruf (c) RUU Penyiaran yang melarang penyiaran eksklusif jumalistik investigasi.

Menyikapi pasal yang dinilai membungkam kemerdekaan pers ini, IJTI Korda Surabaya menggelar teatrikal dengan menampilkan seorang jurnalis di dalam terali besi dengan kedua tangannya dirantai.

Kemudian jurnalis yang menjadi aktor teatrikal itu ditarik serta diseret paksa oleh dua orang berpakaian jas sembari berupaya membungkam mulutnya dengan menggunakan lakban

Dalam orasi-nya, IJTI Korda Surabaya menyampaikan tiga pernyataan sikap.

Pertama, agar seluruh pasar bermasalah yang mengancam kemerdekaan pers dibatalkan. Kedua agar melibatkan Dewan Pers dan Masyarakat Pers dalam pembahasan RUU Penyiaran. Ketiga, mendesak pemerintah mengembalikan fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi.

Jalan mundur dan jalan jongkok para wartawan di Bali

Sehari sebelumnya, para jurnalis atau wartawan di Bali dari berbagai organisasi sepakat menolak Revisi Undang-undang (RUU) Penyiaran yang dianggap kontroversial dan mencederai kemerdekaan pers. Pernyataan itu mereka sampaikan dalam aksi di depan Kantor DPRD Provinsi Bali, Denpasar, Selasa (28/5).

Mereka melakukan aksi damai, dan para jurnalis dan wartawan ini dari berbagai perusahaan media baik lokal, nasional, dan internasional serta berbagai organisasi wartawan, hingga mahasiswa.

Saat memasuki gerbang Kantor DPRD Bali itu, para jurnalis dengan kompak berjalan mundur sebagai tanda bahwa dengan adanya RUU Penyiaran, maka demokrasi berjalan mundur. Lalu saat mendekati lobi Kantor DPRD Bali, mereka berjalan jongkok.

Aksi simbolik itu menandai bahwa RUU penyiaran saat ini adalah sebuah jalan mundur, dan otak jongkok anggota DPR yang hendak mengundangkan UU pengekang kebebasan pers tersebut.

Koordinator Advokasi AJI Denpasar Yoyo Raharyo mengatakan salah satu pengekang kebebasan pers yang diketahui terdapat dalam RUU penyiaran adalah pelarangan jurnalisme investigasi untuk disiarkan. Menurutnya, itu adalah sebuah kesalahan cara berpikir, karena jurnalisme investigasi itu merupakan bagian dari kerja-kerja jurnalistik.

"Kalau kita lihat DPR tidak memahami apa itu fungsi jurnalis," kata dia.

Selain menolak RUU penyiaran, dia mengatakan aksi damai itu juga dilakukan untuk menolak pasal-pasal yang antikemerdekaan pers, antidemokrasi, antikebebasan berekspresi, dan anti-HAM.

"Kita menolak monopoli kepemilikan lembaga penyiaran, dan mendesak Presiden Jokowi dan DPR RI meninjau ulang urgensi revisi Undang-undang penyiaran atau tidak melanjutkan pembahasan RUU Penyiaran," kata Yoyo.

Ia juga menuntut Presiden Jokowi dan DPR melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan peraturan dan Perundang-undangan, baik undang-undang baru atau pengganti maupun perubahan atau revisi Undang-undang.

"Menuntut Presiden Jokowi dan DPR RI melibatkan Dewan Pers, organisasi jurnalis, organisasi perusahaan media, dan kelompok masyarakat sipil yang memiliki perhatian khusus terhadap isu-isu yang beririsan dalam hal pers, demokrasi, dan HAM," ujarnya.

"Juga menuntut Presiden Jokowi dan DPR RI menghapus pasal-pasal problematik yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi," tegasnya.

(Antara, kdf/kid)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat