yoldash.net

IJTI Kritik RUU Penyiaran Larang Tayangan Eksklusif Investigasi

Ketua Umum IJTI Herik Kurniawan memandang Pasal yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan.
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyoroti draf Rancangan Undang-undang Penyiaran mulai dari penyusunan maupun substansi yang kini tengah berproses di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. (ANTARA FOTO/Agus Bebeng)

Jakarta, Indonesia --

Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyoroti draf Rancangan Undang-undang Penyiaran mulai dari penyusunan maupun substansi yang kini tengah berproses di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

IJTI mempertanyakan Pasal yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi.

Ketua Umum IJTI Herik Kurniawan memandang ketentuan tersebut telah menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pertanyaan besarnya mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalistik investigasi?" ujar Herik melalui siaran persnya, Sabtu (11/5).

Menuruk Herik, selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik serta berdasarkan data dan fakta yang benar, dan untuk kepentingan publik, maka tidak menjadi masalah.

Secara substansi, Pasal pelarangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi di televisi bisa diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman terhadap kemerdekaan pers di tanah air.

"Upaya ini tentu sebagai suatu ancaman serius bagi kehidupan pers yang tengah dibangun bersama dengan penuh rasa tanggung jawab," imbuhnya.

Lebih lanjut, Herik khawatir RUU Penyiaran akan dijadikan alat kekuasan dan politik oleh pihak-pihak tertentu untuk mengebiri kerja-kerja jurnalistik yang profesional dan berkualitas.

Kemudian, ia juga menyoroti Pasal mengenai penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.

Ia berpendapat Pasal tersebut sangat multitafsir, terlebih yang menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik. IJTI, terang Herik, memandang Pasal yang multitafsir dan membingungkan berpotensi menjadi alat kekuasan untuk membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis atau pers.

"Kita sepakat bahwa sistem tata negara menggunakan demokrasi, dan pers merupakan pilar keempat dari demokrasi," ucap Herik.

"Pers memiliki tanggung jawab sebagai kontrol sosial agar proses bernegara berjalan transparan, akuntabel dan sepenuhnya memenuhi hak-hak publik," sambungnya.

IJTI, lanjut Herik, turut mempermasalahkan ketentuan yang memuat penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ia meminta Pasal dimaksud dikaji ulang karena bersinggungan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengamanatkan penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers.

Herik mengatakan penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran di KPI berpotensi mengintervensi kerja-kerja jurnalistik yang profesional, mengingat KPI merupakan lembaga yang dibentuk melalui keputusan politik di DPR.

Sesuai dengan UU Pers, tegas dia, komunitas pers mendapat mandat untuk membuat regulasi sendiri dalam rangka mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional dan berkualitas melalui self regulation.

Oleh karena itu, terang dia, setiap sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik baik penyiaran, cetak, digital (online) hanya bisa diselesaikan di Dewan Pers.

Berdasarkan sejumlah alasan tersebut, IJTI menolak dan meminta agar sejumlah Pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang berpotensi
mengancam kemerdekaan pers dicabut.

Kemudian meminta DPR mengkaji kembali draf revisi RUU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak termasuk organisasi jurnalis serta publik, dan meminta kepada semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreativitas individu di berbagai platform.

(ryn/fra)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat