Motif Pemilu dan Penyanderaan Hakim Konstitusi di Balik Revisi UU MK
Revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) bergulir di DPR tanpa transparansi ke publik. Sejumlah poin revisi dinilai menyandera hakim-hakim konstitusi yang tak bisa diatur para lembaga pengusul.
Revisi UU MK nyaris disahkan oleh DPR di dalam rapat paripurna. Tanpa diketahui publik secara luas, pembahasan di tingkat pertama telah selesai.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkap hal itu lewat konferensi pers. Dia pun menyatakan sikap pemerintah atas revisi UU MK.
"Sampai sekarang ya saya sampaikan bahwa belum ada keputusan kemusyawaratan di tingkat satu, sehingga belum bisa, kan kita belum tanda tangan. Saya merasa belum tanda tangan, Pak Yasonna (Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly) merasa belum tanda tangan. Jadi ya saya sampaikan ke DPR," kata Mahfud pada jumpa pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (4/12).
Mahfud mengaku sudah melapor ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal hal itu. Dia menilai ketentuan peralihan tentang masa jabatan hakim dalam revisi UU MK akan merugikan para hakim konstitusi.
Draf revisi UU MK mengatur hakim yang sudah menjabat 5 tahun bisa melanjutkan jabatan hingga 10 tahun. Namun, mereka harus mendapat izin dari lembaga pengusul.
Dalam draf itu juga menyebut hakim MK yang telah menjabat lebih dari 10 tahun bisa melanjutkan masa jabatan hingga berusia 70 tahun. Para hakim itu dibatasi masa jabatan maksimal 15 tahun.
Dengan aturan-aturan baru itu, setidaknya ada tiga hakim yang berpotensi terdampak. Mereka adalah Suhartoyo, Saldi Isra, dan Enny Nurnaningsih.
Pakar hukum tata negara Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto menyoroti potensi penyanderaan para hakim konstitusi di balik revisi UU MK.
Aan berkata aturan baru bakal membuat hakim MK bisa diberhentikan di tengah jalan. Padahal, UU MK sebelumnya hanya mengatur pemberhentian hakim konstitusi karena kasus pidana, meninggal dunia, dan mengundurkan diri.
"Kalau kemudian di tengah jalan diterapkan kepada beliau bertiga, maka tidak fair. Beliau bertiga diangkat dengan hukum yang dia tidak tahu bahwa nanti bisa diberhentikan apabila lembaga pengusul tidak setuju," kata Aan saat dihubungi Indonesia.com, Selasa (5/12).
"Itu kan terjadi pada Pak Aswanto waktu itu. Ini kan mau di-Aswanto-kan jilid dua," ujarnya.
Aan berpendapat seharusnya aturan itu tidak berlaku surut. Artinya, aturan itu seharusnya baru berlaku di periode hakim berikutnya.
Dia juga menduga ada kepentingan politik di balik revisi UU MK. Menurut Aan, bisa saja ada pihak yang ingin perombakan hakim MK demi kepentingan di pemilu.
"Jika nanti ada yang diberhentikan, maka ada hakim baru. Hakim baru inilah diperbarui bargaining-nya terkait pilpres maupun pileg ke depan. Kan lebih berbahaya," ucapnya.
Terpisah, Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti menyoroti kaitan revisi MK dengan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat capres-cawapres.
Putusan itu kontroversial karena memberi jalan bagi putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, ikut Pilpres 2024. Dalam putusan itu, ada tiga hakim yang menyatakan dissenting opinion, termasuk Saldi Isra dan Suhartoyo.
"Tak salah jika publik menilai ada keinginan kuat untuk mengganti hakim-hakim tersebut, mengingat selama ini dalam putusan-putusan yang kontroversial seperti putusan mengenai Undang-Undang Cipta Kerja serta putusan mengenai syarat calon presiden dan wakil presiden yang memungkinkan Gibran Rakabuming Raka dicalonkan sebagai wakil presiden," kata Bivitri kepada Indonesia.com, Selasa.
Dia menilai revisi UU MK justru melanggar dua prinsip. Pertama, prinsip peraturan peralihan yang seharusnya melindungi pihak-pihak terdampak dari kerugian konstitusional.
Hal kedua yang dilanggar adalah kemandirian kehakiman. Dia menilai revisi UU MK yang mencantumkan aturan "atas persetujuan lembaga pengusul" mengganggu kemandirian MK.
"Lembaga pemilih hakim, yaitu DPR, presiden, dan MA seakan-akan dapat melakukan evaluasi hakim," kata Bivitri.
"Ancaman untuk mengganti hakim di tengah masa jabatannya, bisa membuat hakim ragu bila putusannya tidak menguntungkan lembaga yang memilihnya," ucapnya.
(dhf/tsa)[Gambas:Video CNN]