yoldash.net

Cuaca Ekstrem dan Segudang PR Mitigasi Bencana Pemerintah

Potensi cuaca buruk diprediksi terjadi di sejumlah wilayah di penghujung tahun. Mitigasi dan akurasi data jadi kunci dalam menghadapi risiko bencana.
Ilustrasi. Potensi cuaca buruk diprediksi terjadi di sejumlah wilayah di penghujung tahun. Mitigasi dan akurasi data jadi kunci dalam menghadapi risiko bencana. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)

Jakarta, Indonesia --

Memasuki penghabisan tahun, cuaca buruk terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi kondisi cuaca ekstrem di Indonesia akan terjadi hingga pergantian tahun.

BMKG pun menetapkan 14 provinsi berstatus siaga potensi cuaca ekstrem pada periode 27-28 Desember 2022. Pada Rabu (28/12) ini misalnya, hujan lebat diperkirakan akan terjadi di Jawa Tengah dan Laut Jawa.

Akibat cuaca buruk, lebih dari 300 wisatawan terjebak di Pulau Karimunjawa, Jawa Tengah. Bantuan baru datang tepat di hari kelima sejak kapal terakhir merapat di Pulau Karimunjawa. Wisatawan yang terjebak baru bisa dievakuasi dengan kapal motor menuju pelabuhan di Semarang pada Selasa (27/12) malam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak hanya itu, akses menuju Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, via jalur laut pun terputus sejak akhir pekan lalu imbas cuaca ekstrem. Jalur udara yang merupakan satu-satunya pintu masuk ke Pulau Bawean saat ini turut terdampak. Penerbangan kerap terlambat, bahkan pesawat gagal mendarat pada Selasa kemarin.

BMKG telah meminta pemerintah daerah menggencarkan sosialisasi dan edukasi secara lebih masif untuk meningkatkan pemahaman terkait pencegahan atau pengurangan risiko bencana hidrometeorologi.

ADVERTISEMENT

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah menilai upaya mitigasi bencana di pulau-pulau kecil masih sangat rendah lantaran minimnya koordinasi antara pemerintah daerah dengan pihak-pihak terkait seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan aparat penegak hukum.

Ia berpendapat pemda dan lembaga tersebut berjalan sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi dalam menyiapkan aspek pencegahan dan mitigasi bencana. Menurut Trubus, kebijakan mengenai bencana di Indonesia biasanya baru dibahas setelah terjadi suatu bencana.

"Mitigasi masih rendah, masih minim. Terus sifatnya responsif reaktif doang. Mereka (pemerintah) kalau ada bencana baru bangun posko-posko. Ibaratnya kalau sudah ada kebakaran baru ada tindakan," kata Trubus saat dihubungi Indonesia.com.

Trubus menegaskan semestinya pemerintah telah menyiapkan mitigasi bencana dengan baik. Misalnya, menyediakan tempat perlindungan yang aman dan menyiapkan jalur evakuasi.

Ia mendorong pemerintah pusat dan daerah bersinergi. Pemetaan daerah rawan bencana perlu dilakukan untuk menyiapkan bantuan dan pertolongan. Hal ini pun perlu disosialisasikan kepada masyarakat sebelum bencana terjadi.

"Misalnya untuk daerah yang rawan banjir itu sudah disiapkan perahu, tempat evakuasinya di mana, titik kumpulnya ada di mana. Itu semua sudah diedukasikan ke masyarakat. Jadi masyarakat sudah tahu," kata dia.

Selain itu, lanjut dia, pemerintah perlu melakukan upaya mitigasi lewat regulasi. Trubus menuturkan kebijakan pemerintah merupakan hal penting dalam penanggulangan bencana.

"Jadi bikin kebijakan yang regulasinya jelas dulu. Pemerintah daerah kan biasanya punya Perda. Perdanya itu disinkronkan dengan aturan-aturan lain, aturan pusat maupun yang di daerah," ujarnya.

Berlanjut ke halaman berikutnya...

Pentingnya Akurasi Data agar Siaga

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat