yoldash.net

Ibu Mega dan Nasib Riset Sains Indonesia 2024

Jika posisi Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN dianggap memperkuat posisi politik lembagaitu, apa yang akan terjadi saat Mega tak lagi menjabat?
(CNN Indonesia/Hesti Rika)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi Indonesia.com
Jakarta, Indonesia --

Mudah untuk menyimpulkan Megawati Sukarnoputri adalah perempuan paling berpengaruh di Indonesia saat ini. Mudah juga untuk mencari pembuktiannya: misalnya acara HUT Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Senin (10/01) pekan lalu.

Di acara ini Mega --kini 74 tahun dan sudah menjadi ketum partai lebih dari dua dekade-- berpidato politik tidak kurang dari 60 menit, di hadapan pemirsa yang mengikuti lewat layar lebar karena acara tak digelar tatap muka.

Di antara hadirin, ada Presiden RI, Wakil Presiden, Ketua DPR, Menko Polhukam, Menko Perekonomian, Menko PKM, Menko Maritim, Mendagri, Menlu, Menkeu, Ketua BRIN dan banyak lagi pejabat penting lainnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski bukan acara resmi kenegaraan, tampak jelas para pejabat tinggi negara ini memandang agenda Ibu Mega sangat penting dan karena itu memilih hadir ketimbang mengurus pekerjaan lain.

Isi pidatonya khas arahan Ketua PDIP; mengingatkan PDIP sebagai partai ideologi, pentingnya sejarah masa lalu agar diajarkan pada generasi penerus, meminta agar ajaran Ir Sukarno dipelajari oleh bangsa Indonesia, kritik karena harga bahan pokok terus naik dan pernyataan dukungan pada Presiden Joko Widodo (karena diledek sebagai 'kodok' oleh para pembencinya).

ADVERTISEMENT

Yang barangkali agak berbeda, adalah ia beberapa kali menekankan BRIN, dan bahkan menyebutnya lebih dari lima kali. Mega juga menyatakan tentang pentingnya inovasi dan teknologi untuk bangsa. Berkaitan dengan situasi pandemi, Mega menyorot soal ketergantungan tinggi Indonesia pada alat kesehatan mayoritas diimpor.

"Dari dulu ya itu lagi Pak Jokowi, enggak usah yang megah-megah dulu lah ya. Tapi kan masa alat suntik atau dan lain sebagainya ya itu masih saja dari luar. Lha kan masak gituan aja kita enggak bisa bikin lho," Mega berkomentar di luar naskah resmi pidatonya.

"Dalam upaya membangun berdiri di atas kaki sendiri itu maka sekali lagi saya mengucapkan banyak terima kasih atas dibangunnya BRIN. Itu harus mampu menjadi tulang punggung kemajuan bangsa sebab tidak ada bangsa besar maju tanpa penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi."

Ini bukan pertama kalinya Mega mengutarakan pandangannya terhadap isu inovasi dan riset. Dalam beberapa kesempatan sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo, Mega 'menantang' pemerintah agar berani mengeluarkan anggaran riset sebesar 5% dari APBN.

Hitungan studi anggaran riset Indonesia yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menyatakan besaran dana riset di Indonesia dalam 20 tahun terakhir rata-rata sekitar 0,02% dari APBN. Menaikkan anggaran hingga 5%, atau 25 kali dari saat ini, pasti akan disambut gembira oleh kalangan peneliti, meski sayangnya tidak dirinci kapan dan bagaimana bisa target ini dicapai.

Saat Mega dilantik sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN Oktober lalu, ilmuwan mempersoalkan penunjukan ini karena cemas riset dibawa ke arah kepentingan politik. Mega yang Juni lalu baru saja mendapat gelar Profesor Kehormatan dari Universitas Pertahanan juga dianggap kurang kompeten untuk mengarahkan kebijakan sistem riset nasional.  

Ia menyinggung soal ini dalam pidatonya.

"Pak Jokowi, saya berterima kasih lho Bapak membentuk BRIN lho. Cuman, banyak orang nanya, kenapa Pak Jokowi kok yang dijadikan saya lagi gitu. Lha saya ya bilang 'yang nyuruh saya Presiden lho, emang mau-maunya saya sendiri?' Barangkali, saya dianggap, barangkali lho yaa, kurang pintar. Ya saya suka ketawa sendiri..." kata Mega.

Pintar atau tidak, tampaknya tidak jadi soal betul.

Setidaknya menurut Kepala BRIN LT Handoko, posisi Mega penting sebagai pemberi dukungan politis karena BRIN bukan cuma butuh dukungan teknokratis. Bahkan menurut Handoko, Mega adalah politisi paling peduli pada riset di tanah air, meski lagi-lagi tak dijelaskan bagaimana kepedulian itu diwujudkan.

Amatan Yanuar Nugroho, eks pembantu Jokowi yang banyak terlibat dalam pembangunan ekosistem riset pada periode pertama pemerintahannya, menunjukkan sejak lepas dari Orde Baru wacana iptek tidak pernah menjadi bagian dari prioritas rencana pembangunan nasional, termasuk pada era pemerintahan Megawati (2001-2004).

Pada era Jokowi, ristek dan inovasi juga tak muncul dalam 5 visi kunci 2019-2024.

Yang ada adalah kebijakan untuk mengutak-atik posisi Kementerian Riset yang pernah sangat berpengaruh di bawah era BJ Habibie. Di bawah periode kedua pemerintahan Jokowi, Kementerian yang sedikitnya enam kali berubah sejak 1960 ini malah dibubarkan untuk memberi ruang berdirinya Kementerian Investasi.

Apakah keberadaan Megawati sebagai pengarah ekosistem ristek dan inovasi nasional akan mengubah situasi ini?

Di tengah berbagai persoalan akibat peleburan 39 lembaga riset milik pemerintah dalam BRIN, kepala BRIN LT Handoko selalu tampil sendirian menghadapi pertanyaan publik dan media.

Kritik pedas kalangan ilmuwan dan publik tentang cara paksa peleburan, termasuk dengan menceraiberaikan tim riset biomolekuler di Lembaga Eijkman dan memberhentikan sekitar 1000 pegawai kontrak berbagai lembaga, tidak banyak berdampak pada jalannya integrasi.

Penolakan juga kabarnya datang dari sesama instansi pemerintah yang merasakan manfaat dari keberadaan Eijkman selama ini.

Toh peleburan jalan terus.

Dengan percaya diri, Handoko menargetkan akhir Januari seluruh proses selesai. Jika berhasil, menurutnya dalam lima tahun akan lahir inovasi-inovasi baru buah kebijakan ini. Tanpa dukungan politik yang kuat, sulit membayangkan keputusan seperti yang diambil Handoko bisa tetap berlanjut. Barangkali ini yang dimaksud sebagai dukungan non-teknokratis.

Masalahnya: berapa lama dukungan semacam ini akan dinikmati BRIN?

UU Sisnas Ristek jelas mengamanatkan peran BRIN sebagai pengarah sistem riset dan inovasi nasional. Dua perpres sekaligus (33 dan 78/2021) dibuat untuk meneguhkan besarnya kewenangan BRIN -- demikian besar sampai disebut superbody.

Apa yang akan terjadi jika, misalnya, Mega tak lagi menjabat sebagai Ketua Dewan Pengarah? Apakah ada jaminan kewenangan BRIN tetap sebesar sekarang setelah pemilihan presiden 2024?

Dalam sebuah forum tertutup untuk media, dengan pernyataan yang diizinkan dikutip, dua pekan lalu, Handoko mengatakan sebagai eksekutor kebijakan, dirinya "tidak boleh terlalu banyak mikir". Misinya kini "melakukan saja" semua rencana agar BRIN segera established.

Meski dia tidak menampik kemungkinan bahwa seorang kepala negara baru pada 2024 mungkin saja memutuskan arah pembangunan riset diubah.

Setelah berbagai keributan dibalik peleburan BRIN, membayangkan kebijakan itu mungkin kembali berubah hanya dalam kurun waktu dua tahun sungguh akan menjadi tragedi. Dan membuktikan bahwa riset dan inovasi memang masih jauh dari prioritas pembangunan di negeri ini.

(vws/vws)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat