yoldash.net

Kenapa Israel Tetap Ngotot Serbu Rafah Meski Dikecam Sekutu?

Israel mengusir puluhan ribu pengungsi Palestina sebelum serbu Rafah, dengan dalih ingin memusnahkan kelompok Hamas.
Israel usir paksa warga Palestina sebelum serbu Rafah di Gaza selatan. Foto: REUTERS/Ramadan Abed

Jakarta, Indonesia --

Israel mulai menggempur habis-habisan Rafah di Gaza selatan pada Senin (6/5), meski banyak pihak termasuk sekutu dekat mereka menolak operasi itu.

Sebelum melancarkan invasi, pasukan Israel telah mengusir lebih dari 100 ribu warga yang mengungsi di Rafah. Mereka lalu pindah ke kawasan Khan Younis.

Rencana Israel menginvasi Rafah sebetulnya sudah mencuat sejak lama di tengah upaya gencatan senjata.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun sekutu dekat Israel, Amerika Serikat, keberatan dengan invasi di Rafah. Mereka menilai operasi itu akan memakan korban lebih banyak.

Lalu mengapa Israel bersikeras ingin hancurkan Rafah?

Pasukan pertahanan Israel memandang Rafah merupakan lokasi krusial dan benteng terakhir Hamas di Jalur Gaza.

Israel mengklaim telah menghancurkan 18 dari 24 batalion Hamas di Gaza. Mereka berambisi untuk merontokkan kemampuan militer dan memusnahkan kelompok itu dari muka bumi.

IDF juga memandang Hamas punya empat batalion di Rafah dan mereka harus mengirimkan pasukan darat untuk menghancurkannya. Beberapa anggota senior juga diperkirakan sembunyi di kota tersebut.

Namun, Hamas selama ini terus berkumpul kembali di sejumlah area dan meluncurkan serangan.

Netanyahu ingin amankan kekuasaan

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu gigih ingin menggempur Rafah karena alasan politik. Pemerintahan Netanyahu disebut bisa runtuh jika operasi tak berjalan.

Sekutu ultranasionalis dan konservatif di pemerintahan Netanyahu bisa menarik diri dari koalisi jika dia menandatangani kesepakatan gencatan senjata.

Salah satu poin kesepakatan gencatan senjata adalah jeda pertempuran. Artinya, Israel tak akan bisa menyerang Rafah jika setuju gencatan senjata.

Menteri Keuangan Israel dari sayap kanan Bezalel Smotrich sempat mengatakan jika menerima gencatan senjata dan tak melaksanakan operasi Rafah, berarti Israel "mengibarkan bendera putih" dan menyerah ke Hamas.

Para pengamat sampai-sampai menyebut Netanyahu lebih memprioritaskan menjaga pemerintahan utuh dan tetap berkuasa daripada kepentingan nasional.

Banyak pihak tolak invasi Rafah

Invasi Israel di Rafah mendapat penolakan dari komunitas internasional termasuk sekutu dekat mereka, Amerika Serikat.

AS menyatakan Israel tak perlu melakukan operasi tersebut tanpa skenario yang "kredibel" untuk mengevakuasi warga.

Juru bicara keamanan nasional John Kirby sampai-sampai mengatakan AS tak ingin melihat operasi darat di Rafah.

"Kami tak ingin melihat operasi darat besar-besaran di Rafah," kata Kirby, dikutip Associated Press.

Dia lalu berujar, "Tentu saja kami tak ingin melihat operasi yang tak mempertimbangkan keselamatan, keamanan [warga]."

Israel mengklaim punya rencana khusus untuk warga di Rafah dengan memindahkan mereka ke "kepulauan kemanusiaan" di Gaza tengah sebelum invasi.

IDF juga menyebut telah menyediakan ribuan tenda untuk pengungsi. Namun, mereka tak memberi rincian lebih lanjut.

Sejauh ini juga tak ada rencana pasti terkait kemungkinan memindahkan jutaan warga dari utara ke wilayah tengah.

Tak cuma AS, Mesir yang merupakan mitra strategis Israel juga sudah mewanti-wanti rencana itu. Mereka menyebut dorongan warga Palestina ke Mesir atau perebutan perbatasan Gaza-Mesir akan mengancam perjanjian damai kedua negara.

Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa khawatir dengan skenario Israel. Mereka menganggap pengusiran itu justru memicu bencana kelaparan yang lebih luas dan kematian massal.

Selama agresi, Israel membatasi bantuan kemanusiaan yang masuk ke Gaza. Mereka hanya mengizinkan segelintir truk bantuan masuk ke wilayah tersebut. Pembatasan itu, menurut sejumlah pihak, memicu kelaparan dan krisis pangan.



Netanyahu memahami risiko yang diterima Israel usai menyetujui invasi Rafah. Komunitas internasional mungkin akan semakin mengisolasi negara tersebut dan mereka terasing dari sekutunya.

Namun, kemarahan global bagi Netanyahu hanya retorika. Sikap kritis AS juga tak benar-benar tegas. AS memang mengkritik rencana invasi di Rafah, tetapi mereka terus memasok senjata ke Israel.

(isa/dna)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat