Review Film: Tebusan Dosa
Yosep Anggi Noen berhasil menawarkan sajian horor yang berbeda lewat Tebusan Dosa, film horor pertamanya yang sarat akan pesan dan makna drama kehidupan tersirat ciri khas sutradara tersebut.
Tebusan Dosa menjadi tawaran menarik dari Anggi dalam keberagaman film horor yang sudah wara-wiri di bioskop. Membawa kisah seorang ibu yang berjuang mencari anak, sisi drama dalam film ini memang sangat kental.
Meminimalisir ekspektasi sebelum masuk ke teater untuk menyaksikan Tebusan Dosa mungkin bisa membantu penonton untuk menikmati dan mencerna film ini secara perlahan, dibandingkan film-film horor lokal lainnya.
Lewat film ini, Anggi Noen mengajak penonton untuk menyelami emosi dan konflik sosial yang dihadapi oleh sosok Wening (Happy Salma). Seiring dengan waktu berjalan, Tebusan Dosa membawa penonton dalam arus cerita yang menghanyutkan bila menjalaninya tanpa perlawanan.
Ada banyak hal yang bisa diambil dari kisah Tebusan Dosa, jauh lebih banyak dibandingkan film horor yang hanya mengandalkan jumpscare dan scoring berisik serta jerat-jerit pemainnya.
Namun Anggi Noen juga masih bisa mengikuti 'kebiasaan' film horor lokal berkat kerja samanya dengan Alim Sudio pada penulisan naskah. Sedikit banyak, keberadaan Alim membuat Tebusan Dosa masih memiliki nafas yang akrab bagi penggemar horor.
Naskah dan cerita yang ditulis Anggi Noen dan Alim Sudio dimainkan dengan sangat baik oleh Happy Salma dan Putri Marino. Keduanya menjadi sajian combo yang sangat menarik dari film horor pertama Palari Film ini.
Happy sukses membuat saya larut dalam cerita getir dan susah payah Wening dalam mencari anaknya. Pengalaman panjang Happy berakting dan dalam teater menjadi modal yang sangat kuat menyajikan jalan hidup Wening, sekaligus membuktikan keluwesan dirinya dalam bermain lakon.
Bagi saya, Wening yang dimainkan Happy Salma suskes membuat kesal, jengkel, iba, sedih, bersalah, dan fustrasi, sesuai dengan dinamisasi psikologis karakter tersebut.
Hanya saja, Wening yang digambarkan sangat tertutup terlihat sangat teralienasi di desanya. Apalagi ia tidak menggunakan bahasa Jawa di sana, atau terlihat berupaya mencoba menggunakan hal tersebut.
Persoalan penggunaan tiga bahasa dalam film ini, yakni Indonesia, Jepang, dan Jawa, satu sisi memang unik di tengah film horor Indonesia yang berlomba-lomba pasang subtitel English walau tata bahasanya terlihat amatir.
Review Film Tebusan Dosa (2024): Naskah dan cerita yang ditulis Anggi Noen dan Alim Sudio dimainkan dengan sangat baik oleh Happy Salma dan Putri Marino. (Palari Films) |
Namun keunikan tersebut rasanya kurang tersampaikan dengan cukup logis. Seperti Wening yang tidak berbahasa Jawa dan Jepang tapi tampak mengerti percakapan bahasa tersebut, dan sebaliknya.
Sementara itu, keberadaan Tirta asal Jakarta dimainkan dengan baik oleh Putri Marino. Meski tak jelas alasan Tirta memilih kabur ke desa tersebut, karakter itu cukup memberi warna tersendiri ke film ini.
Akan tetapi keberadaan Tirta menjadi cukup aneh saat dirinya ikut mendapatkan teror yang selama ini mengikuti Wening. Apalagi, Tirta kemudian seolah bertindak sebagai pahlawan kesiangan bagi Wening. Meski begitu, Tirta memang rekan yang sepadan untuk Wening.
Catatan lainnya dari film ini adalah Anggi Noen rasanya perlu menambah kemampuannya dalam menjahili penonton film horor, tak perlu terlalu serius apalagi terlalu awal memberikan petunjuk jawaban misteri di Tebusan Dosa.
Pertama, selain menurunkan rasa penasaran dan semangat dalam menyaksikan film horor, petunjuk yang terlalu mudah ditebak merusak suasana dan penilaian akan cerita film tersebut sehingga menjadi kurang gereget.
Dari kedalaman cerita, Yosep Anggi Noen tak perlu dipertanyakan. Namun untuk film horor, Anggi Noen masih perlu bermain dengan imajinasi dan rasa usil menjahili penonton.
Hal itu karena dalam film horor, permainan dengan suasana thrilling dan chilling sangat penting untuk bisa membuat penonton terhibur. Bila tidak, film horor tak ubahnya seperti laporan ilmiah yang hasilnya sudah bisa dibaca dari abstrak.
[Gambas:Youtube]