Review Film: The Paradise of Thorns
Apresiasi setinggi-tingginya untuk semua tim The Paradise of Thorns, baik di belakang dan depan kamera. Mereka berhasil mengemas film dengan kisah yang gelap dengan begitu apik dan berwarna.
Plot, penceritaan, sinematografi, scoring, terutama akting para bintang patut diacungi jempol. Ketidakadilan dalam hidup bisa diceritakan tepat sasaran dan terhubung dengan masyarakat di luar Thailand.
Sebelum lebih jauh, saya hanya ingin mengingatkan film ini memiliki unsur kekerasan mendetail, pelecehan seksual, serta beberapa adegan merujuk seks. Sehingga, film ini benar-benar untuk penonton dewasa di atas 21 tahun.
Dari luar, film ini tampak menyoroti isu yang diperjuangkan warga Thailand sejak lama, yakni kesetaraan pernikahan yang akhirnya bisa mereka dapatkan mulai 22 Januari 2025.
Namun penceritaan The Paradise of Thorns lebih dalam dari itu. Film ini soal cinta, pengorbanan, kehilangan, dan pertikaian hukum. Semuanya dipadukan dengan budaya lokal yang bisa "mengedukasi" penonton global.
Penonton diajak menyaksikan seluruh kisah itu lewat perkebunan durian yang dikelola karakter Jeff Satur, Thongkam, dari waktu ke waktu bersama Sek yang diperankan Toey Pongsakorn Mettarikanon.
Perkebunan itu awalnya menjadi "ladang cinta" mereka yang dalam sekejap berubah menjadi medan pertempuran imbas ketamakan.
Boss Kuno selaku penulis naskah bersama Naron Cherdsoongnern dan Karakade Norasethaporn memastikan penonton melihat sudut pandang setiap pihak berseteru.
Thongkam diperlihatkan sebagai sosok yang amat layak atas kebun durian karena jerih payah dan uangnya mengalir menghidupi kawasan itu, tapi malah benar-benar jadi tak berdaya karena celah hukum.
Namun, penulis juga memperlihatkan Saeng (Seeda Puapimon) sebagai pewaris yang sah di hadapan hukum. Begitu pula dengan Mo (Engfa Waraha) dengan alasan dan motivasi sendiri.
Lihat Juga : |
The Paradise of Thorns dengan cerdas menyoroti area abu-abu tak tersentuh hukum, situasi yang bisa menimpa siapa saja. Akting para bintang membuat penonton mudah ikut merasakan ketidakadilan, frustrasi kepada para karakter.
Banyak hal patut diapresiasi dari film ini, salah satunya adalah detail secara perlahan dan tak langsung pergeseran kepemilikan aset dari Thongkam ke Saeng dan Mo.
Review film: The Paradise of Thorns membangun situasi yang intens lewat hal-hal kecil yang dilakukan karakternya. (GDH 559 Co., Ltd.) |
Beberapa yang jelas terlihat adalah kepemilikan cincin, pengguna kamar utama, orang-orang yang masuk ke area tersebut, hingga perubahan attitude Saeng dan Mo setelah berada di kediaman Thongkam.
Naskah juga patut diapresiasi karena banyak kutipan-kutipan hit the spot, terutama saat Thongkam dan Mo saling sindir hingga melukai secara verbal dengan begitu smooth, tepat sasaran bisa langsung menjatuhkan mental yang lain.
Aspek lain yang membuat film ini menarik diikuti adalah keseimbangan antara adegan yang memancing amarah, kekerasan, satire dengan bagian-bagian lebih lembut dan emosional.
Review film: The Paradise of Thorns mengkritik celah hukum yang mempertanyakan keadilan sesungguhnya bagi masyarakat. (GDH 559 Co., Ltd.) |
Scoring berperan banyak dalam hal itu hingga di beberapa bagian film ini terasa seperti dark comedy dan sekilas mengingatkan dengan film pemenang Piala Oscar 2020, Parasite.
Sinematografi juga tak perlu diragukan lagi karena begitu mengesankan berkat reuni Boss Kuno dan sinematografer Tang Tawanwad Wanavit setelah bekerja sama dalam I Told Sunset About You (2020) yang juga begitu estetis.
Lanjut ke sebelah...