yoldash.net

Review Film: The Paradise of Thorns

Review The Paradise of Thorns: Film yang kaya dalam penceritaan, memadukan drama yang intens dengan unsur-unsur budaya.
Review The Paradise of Thorns: Film yang unggul dalam penceritaan, memadukan drama yang intens dengan unsur-unsur budaya. (GDH 559 Co., Ltd.)

Jakarta, Indonesia --

Apresiasi setinggi-tingginya untuk semua tim The Paradise of Thorns, baik di belakang dan depan kamera. Mereka berhasil mengemas film dengan kisah yang gelap dengan begitu apik dan berwarna.

Plot, penceritaan, sinematografi, scoring, terutama akting para bintang patut diacungi jempol. Ketidakadilan dalam hidup bisa diceritakan tepat sasaran dan terhubung dengan masyarakat di luar Thailand.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelum lebih jauh, saya hanya ingin mengingatkan film ini memiliki unsur kekerasan mendetail, pelecehan seksual, serta beberapa adegan merujuk seks. Sehingga, film ini benar-benar untuk penonton dewasa di atas 21 tahun.

Dari luar, film ini tampak menyoroti isu yang diperjuangkan warga Thailand sejak lama, yakni kesetaraan pernikahan yang akhirnya bisa mereka dapatkan mulai 22 Januari 2025.

Namun penceritaan The Paradise of Thorns lebih dalam dari itu. Film ini soal cinta, pengorbanan, kehilangan, dan pertikaian hukum. Semuanya dipadukan dengan budaya lokal yang bisa "mengedukasi" penonton global.

Penonton diajak menyaksikan seluruh kisah itu lewat perkebunan durian yang dikelola karakter Jeff Satur, Thongkam, dari waktu ke waktu bersama Sek yang diperankan Toey Pongsakorn Mettarikanon.

Perkebunan itu awalnya menjadi "ladang cinta" mereka yang dalam sekejap berubah menjadi medan pertempuran imbas ketamakan.

[Gambas:Video CNN]

Boss Kuno selaku penulis naskah bersama Naron Cherdsoongnern dan Karakade Norasethaporn memastikan penonton melihat sudut pandang setiap pihak berseteru.

Thongkam diperlihatkan sebagai sosok yang amat layak atas kebun durian karena jerih payah dan uangnya mengalir menghidupi kawasan itu, tapi malah benar-benar jadi tak berdaya karena celah hukum.

Namun, penulis juga memperlihatkan Saeng (Seeda Puapimon) sebagai pewaris yang sah di hadapan hukum. Begitu pula dengan Mo (Engfa Waraha) dengan alasan dan motivasi sendiri.

The Paradise of Thorns dengan cerdas menyoroti area abu-abu tak tersentuh hukum, situasi yang bisa menimpa siapa saja. Akting para bintang membuat penonton mudah ikut merasakan ketidakadilan, frustrasi kepada para karakter.

Banyak hal patut diapresiasi dari film ini, salah satunya adalah detail secara perlahan dan tak langsung pergeseran kepemilikan aset dari Thongkam ke Saeng dan Mo.

Film Thailand The Paradise of Thorns (2024). (GDH 559 Co., Ltd.)Review film: The Paradise of Thorns membangun situasi yang intens lewat hal-hal kecil yang dilakukan karakternya. (GDH 559 Co., Ltd.)

Beberapa yang jelas terlihat adalah kepemilikan cincin, pengguna kamar utama, orang-orang yang masuk ke area tersebut, hingga perubahan attitude Saeng dan Mo setelah berada di kediaman Thongkam.

Naskah juga patut diapresiasi karena banyak kutipan-kutipan hit the spot, terutama saat Thongkam dan Mo saling sindir hingga melukai secara verbal dengan begitu smooth, tepat sasaran bisa langsung menjatuhkan mental yang lain.

Aspek lain yang membuat film ini menarik diikuti adalah keseimbangan antara adegan yang memancing amarah, kekerasan, satire dengan bagian-bagian lebih lembut dan emosional.

Film Thailand The Paradise of Thorns (2024). (GDH 559 Co., Ltd.)Review film: The Paradise of Thorns mengkritik celah hukum yang mempertanyakan keadilan sesungguhnya bagi masyarakat. (GDH 559 Co., Ltd.)

Scoring berperan banyak dalam hal itu hingga di beberapa bagian film ini terasa seperti dark comedy dan sekilas mengingatkan dengan film pemenang Piala Oscar 2020, Parasite.

Sinematografi juga tak perlu diragukan lagi karena begitu mengesankan berkat reuni Boss Kuno dan sinematografer Tang Tawanwad Wanavit setelah bekerja sama dalam I Told Sunset About You (2020) yang juga begitu estetis.

Lanjut ke sebelah...

Meski banyak yang bisa dipuji dari film ini, bukan berarti The Paradise of Thorns bebas catatan. Perseteruan Thongkam dan Mo yang begitu banyak dan plot twist cukup sering membuat film ini bak drama makjang.

Hal tersebut yang jadi sedikit mengganjal setelah menyaksikan bagian ending. Akhir film terasa terburu-buru, terlebih lagi ketika ada satu karakter baru yang datang dan pergi begitu saja di babak akhir.

Suara lembut Jeff Satur sebagai pengisi soundtrack menutup manis The Paradise of Thorns yang memiliki ending begitu realistis, terutama saat berhadapan dengan celah hukum.

The Paradise of Thorns pada akhirnya bukan film yang hanya menyinggung kesetaraan, dan jelas bukan boys' love. Keseluruhannya menyoroti ketidakadilan yang bisa dialami semua orang dengan latar belakang apa pun.

Begitu pula dengan perjuangan mempertahankan hal-hal yang diyakini pantas kita miliki, sampai akhirnya malah membuat lupa sesuatu yang benar-benar penting dalam hidup ini.

[Gambas:Video CNN]



Dampak kemiskinan struktural dalam kehidupan masyarakat, hierarki yang begitu kental dalam banyak keluarga Asia, serta peran perempuan dalam masyarakat menambah layer penceritaan film ini.

Semua bisa ditampilkan dengan baik di layar lebar berkat naskah yang baik serta penampilan luar biasa para bintang, terutama Jeff Satur yang membuatnya semuanya seperti effortless.

Kemudian Seeda Puapimon dalam menghidupkan karakter ibu yang baru menaruh label orang tua dalam hidupnya setelah sang anak tiada dan meninggalkan warisan.

Film Thailand The Paradise of Thorns (2024). (GDH 559 Co., Ltd.)Review film: Jingna (Keng Harit Buayoi) menjadi satu-satunya karakter The Paradise of Thorns yang bisa memberi penonton ruang "bernapas." (GDH 559 Co., Ltd.)
Film Thailand The Paradise of Thorns (2024). (GDH 559 Co., Ltd.)Review film: The Paradise of Thorns menjadi debut apik layar lebar Engfa Waraha karena sukses menghidupkan Mo, karakter yang begitu kompleks. (GDH 559 Co., Ltd.)

Toey Pongsakorn Mettarikanon dalam menggambarkan konflik keinginan pribadi Sek dengan tekanan memenuhi harapan masyarakat. Begitu pula Keng Harit sebagai Jingna satu-satunya karakter dengan hati nurani dalam film ini.

Terakhir, Engfa Waraha dalam menghadirkan karakter begitu kompleks dan backstory yang membuat emosi penonton naik turun sepanjang film, tapi pada akhirnya sadar tak bisa membenci Mo 100 persen.

Melalui The Paradise of Thorns, penonton seperti tidak akan menyangka bahwa film tersebut menjadi debut Boss Kuno sebagai sutradara film panjang, serta Jeff Satur, Engfa Waraha, dan Keng Harit Buayoi yang untuk pertama kalinya tampil layar lebar.

Review Film: The Paradise of Thorns

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat