yoldash.net

Kenapa Sih Banyak Banget yang Mendadak Jadi Fans Taylor Swift?

Setidaknya, ada dua hal penting yang berpengaruh sangat besar dalam pertambahan pesat populasi Swifties.
Taylor Swift pernah berkata dalam Miss Americana (2020) soal kekhawatiran bahwa kala itu adalah kesempatan terakhir baginya bisa meraih kesuksesan seiring usia yang menginjak 30 tahun. (AP/Natacha Pisarenko)

Jakarta, Indonesia --

Taylor Swift pernah berkata dalam Miss Americana (2020) soal kekhawatiran bahwa kala itu adalah kesempatan terakhir baginya bisa meraih kesuksesan seiring usia yang menginjak 30 tahun.

"Ini mungkin salah satu peluang terakhirku sebagai artis, untuk meraih kesuksesan semacam itu. Jadi, entahlah, ketika saya mendekati usia 30, saya ingin kerja sangat keras, selagi masyarakat masih menoleransi kesuksesanku," kata Taylor Swift pada 2019.

Empat tahun setelah film dokumenter rilisan Netflix itu tayang, Taylor Swift jadi fenomena global yang disebut Billy Joel cuma "bisa dibandingkan dengan fenomena Beatlemania."

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

The Eras Tour, yang berisi perayaan 18 tahun kariernya, terentang dalam 152 pertunjukan dengan satu malam berlangsung selama 3,5 jam dan 44 lagu. The Eras Tour juga mampu memecahkan rekor sebagai konser terlaris sepanjang masa dengan pendapatan akhir diprediksi menyentuh US$2 miliar.

Hal itu belum termasuk dengan berbagai rekor musik, dijadikan materi kuliah berbagai kampus terkenal di dunia, masuk museum rekor, hingga yang paling nyata adalah banyak orang mendadak menjadi Swiftie.

Prestasi Taylor Swift meraih 'golden era' seperti ini terbilang langka. Banyak musisi pop, terutama perempuan, mengalami penurunan karier seiring dengan usia yang makin menua.

Seperti Mariah Carey yang diterpa badai karier pada 2001 di usia 32 tahun lewat album Glitter, Rihanna yang terakhir kali merilis album Anti di usia 28 tahun, Katy Perry yang mulai flop saat merilis Witness (2017) pada usia 33 tahun, atau mendiang Whitney Houston yang gagal menyentuh penjualan album 10 juta unit mulai Just Whitney (2002) di usia 39 tahun.

Sentuh emosi

Kesuksesan Taylor Swift menambah pasukan penggemar tidak terlepas dari kemampuannya dalam menggaet pasar. Setidaknya, ada dua hal penting yang berpengaruh sangat besar dalam pertambahan pesat populasi Swifties.

Pertama, kemampuan Taylor Swift menggaet pasar lewat musik.

Taylor sudah mulai berlatih menulis lagu sendiri sejak belia, bahkan ia pindah dari Pennsylvania ke Nashville untuk belajar menulis lagu dan musik. Bahan Taylor untuk menulis lagu pun sederhana, pengalamannya sehari-hari.

Taylor menjadikan musik sebagai buku hariannya. Bahasanya sederhana, mudah dimengerti, dan penuturannya cenderung deskriptif yang detail dan membantu pendengar menggambarkan situasi dalam benak.


Sehingga, wajar bila para pendengar akan mudah mengerti dan mendapatkan gambaran soal cerita yang disenandungkan Taylor. Bahkan lebih jauh dari itu, tak sedikit yang merasa terhubung bahkan seolah-olah Taylor mengisahkan cerita hidup si pendengar.

Kisah yang dibawakan Taylor Swift juga terbilang masalah 'sejuta umat', yakni menyampaikan perasaan yang sulit digambarkan dengan kata-kata, kecuali Taylor yang melakukannya. Seperti lirik All Too Well (10 Minutes Version) berikut:

"They say all's well that ends well, but I'm in a new Hell every time you double-cross my mind. You said if we had been closer in age maybe it would have been fine. And that made me want to die,"

Atau seperti pada lagu tolerate it dari album evermore (2020) ini:

"While you were out buildin' other worlds, where was I? Where's that man who'd throw blankets over my barbed wire? I made you my temple, my mural, my sky. Now I'm beggin' for footnotes in the story of your life."

Psychology Today juga mengamini kemampuan Taylor Swift menjangkau emosi pendengarnya. Mereka menyebut, para penggemar Swift "terkoneksi dalam perasaan yang sama perihal merasa dimengerti dan divalidasi".

"Dan ada sesuatu yang sangat manusiawi dalam menyatukan pengalaman dan sistem kepercayaan bersama," tulis Psychology Today.

[Gambas:Video CNN]


Namun sebagai musisi dan manusia, Taylor Swift juga berkembang seiring waktu. Apalagi tuntutan industri musik yang keras bagi musisi perempuan, memaksa Swift untuk mendorong dirinya sendiri beradaptasi dan berkompetisi hanya agar "bisa dilihat" seperti dalam The Man:

"I'm so sick of running as fast as I can. Wondering if I'd get there quicker if I was a man. And I'm so sick of them coming at me again. 'Cause if I was a man, then I'd be the man."

Inovasi

Taylor Swift pernah menyinggung hal ini dalam Miss Americana (2020). Kondisi itu membuat dia harus "menciptakan dirinya sendiri" setiap dua tahun atau setiap kali merilis album.

"Banyak yang harus diproses karena kita berada di masyarakat ini, di mana perempuan di dunia hiburan dibuang di satu tempat saat berusia 35 tahun," kata Swift.

"Tiap orang bagaikan mainan baru, selama dua tahun. Artis perempuan yang kukenal sudah bertransformasi 20 kali lebih banyak dibanding artis pria. Mereka terpaksa begitu, atau tak mendapatkan pekerjaan," lanjutnya.

Perubahan tema dan konsep setiap album atau yang kemudian dikenal sebagai era ini pada akhirnya menguntungkan Taylor Swift, lantaran berhasil melaluinya. Selalu ada penggemar baru yang datang di era yang dijalani Swift, tanpa harus penggemar lama terlupakan.

Kondisi itu bisa dilihat ketika Swift melakukan perubahan besar-besaran saat membuat album pop penuh 1989 (2014), kemudian pindah ke folk dan alternatif lewat folklore dan evermore (2020). Jumlah pendengar Swift terus bertambah meski ia meninggalkan satu genre demi mencoba genre lainnya.

Resep Taylor Swift bisa melakukan hal tersebut karena ia selalu berinovasi tanpa menghilangkan esensi karya dan jati dirinya: menulis lagu yang mampu beresonansi dengan pendengar. Hal ini diakui oleh akademisi musik School of Music and Dance University of Oregon, Toby Koenigsberg.



"Kita tidak bisa membicarakan kesuksesan Taylor Swift tanpa mengakui kemampuan luar biasanya dalam menulis lagu yang familier tapi khas, mudah dicerna tapi tidak basi," kata Koenigsberg.

"Perlu ditekankan, sangat sulit untuk menulis lagu seperti yang dilakukan Taylor," tambahnya. "Bahkan hanya untuk sekali saja. Melakukannya untuk satu album jauh lebih sulit dari itu, dan dia sudah melakukannya dari album ke album selama dua dekade hingga saat ini,"

Kemampuan Taylor Swift dalam berinovasi, mengembangkan diri, dan beradaptasi dengan perkembangan zaman karena 'tuntutan' bertahan di industri itu juga disokong kecerdasannya melihat peluang bisnis, yang menjadi faktor kedua dalam meraih dan menjaga penggemar. Taylor Swift is a marketing genius.

Lanjut ke sebelah..

Taylor Swift adalah idola yang tak sungkan berusaha memahami penggemarnya, terlepas pengakuan ia adalah "people pleaser". Swift tak sungkan ikut online di media sosial, menyukai dan membaca postingan fan, bahkan ikut nimbrung di kolom komentar ketika fan sedang live seperti saat era reputation (2017).

Jauh sebelumnya, pada 2010, Taylor Swift dengan riang berdiri dan bersalaman satu per satu dengan penggemar yang datang hingga berlangsung selama 13 jam.

[Gambas:Youtube]


Dengan memahami penggemar, Taylor Swift juga memahami pasarnya. Dengan begitu, setidaknya, Swift akan mampu mengelola dan menjaga mereka untuk tetap mendukung dia kala merilis album. Bahkan, tindakan ini berbuah hal lebih manis: ekspansi.

Belum lagi dengan berbagai gimik marketing yang dilakukan Swift setiap kali merilis album. Setiap album pun memiliki gimik dan tema berbeda.

Misalnya ketika perilisan reputation (2017) ketika ia mengundang 500 penggemar dari seluruh dunia untuk bertemu langsung dengannya di rumahnya di London, Rhode Island, dan Los Angeles, serta di rumah ibunya di Nashville.

Atau seperti era Lover (2019), ketika ia melakukan live Instagram kala mengumumkan album itu dan merilis kopian buku hariannya yang terbagi dalam sejumlah versi sebagai bonus. Siapa yang tak mau memiliki kopian buku harian seorang Taylor Swift?

Ketika era pandemi pada 2020, Swift memanfaatkan konsep "album kejutan" dan perilisan yang belum pernah ia lakukan sebelumnya: dua album dalam setahun lewat folklore dan evermore. Pada masa itu, Taylor memungkinkan semua penggemarnya menjadi "yang pertama" mendengar album barunya.

Kemampuan memanfaatkan situasi untuk keuntungan bisnis juga dilakukan Taylor Swift saat menghadapi terpaan dalam karier, misal ketika berkonflik dengan Kanye West dan Kim Kardashian, dirundung kritikus musik, atau saat master album lawasnya dijual ke Scooter Braun.

Konflik dengan Kanye West dan Kim Kardashian yang sempat membuat Swift jadi public enemy pada 2016 menghasilkan album reputation (2017). Album itu menarik minat publik cukup tinggi karena berisi 'teh' pertikaian Swift dengan Kanye, dan berujung keuntungan bagi Swift saat ia comeback.

[Gambas:Photo CNN]



Long live Taylor's version

Menghadapi Scooter Braun, Taylor Swift memilih merekam ulang semua album lawasnya dan memberi sejumlah bonus seperti lagu yang belum pernah dirilis sebelumnya, dan kualitas musik yang jauh lebih baik. Plus, dia meminta dukungan para penggemar setianya.

Hasilnya? Album-album rerecording yang dikenal dengan cap Taylor's Version itu mampu mencetak rekor penjualan, mengalahkan album-album baru yang dirilis. Cuma Taylor yang mampu menjual album lawas yang 'dihangatkan ulang' dan laris manis hingga banyak label kesal.

"Keputusan untuk merekam ulang mencerminkan citra Swift sebagai seorang perempuan kuat, independen, yang bertekad tidak membiarkan dirinya menjadi korban para pria yang mengendalikan industri musik," kata pengamat industri musik, Larry Wayte.

Keberadaan album rerecording ini jelas jadi buah manis bagi Taylor. Pertama, penggemar setianya akan mendapatkan lagu-lagu yang belum pernah dirilis dan mendorong mereka untuk membeli album itu. Kedua, lagu album lawas ini bisa menambah penggemar baru.

Ketiga, Taylor bisa mendulang hak ekonomi lebih luas dengan karya rekam ulang ini, seperti penggunaan untuk film atau iklan. Keempat, album-album rekam ulang ini pula yang menjadi pemantik orang-orang jadi menggila terhadap The Eras Tour.

"Saya pikir itu salah satu gerakan branding paling genius yang pernah dilakukan siapa pun," kata akademisi Teori Musik School of Music and Dance University of Oregon, Drew Nobile.

"Saya tidak bisa memikirkan cara lain untuk menjadi begitu kapitalis, sembari mengambil kembali kekuatan bagi seniman dan membuat cetak biru bagi musisi lainnya di masa depan," lanjutnya.

Maka wajar adanya bila Taylor Swift dinobatkan sebagai Person of the Year majalah Time pada 2023. Swift pun menjadi satu-satunya musisi perempuan yang meraih gelar tersebut, dan perempuan satu-satunya yang meraih gelar itu dua kali.

Wajar pula bila kekuatan Taylor Swift dan penggemar yang selalu ada di belakangnya membuat banyak negara 'mendadak jadi Swiftie' menginginkan ia datang lewat The Eras Tour karena mampu meningkatkan ekonomi setempat, terutama usai terhantam pandemi.

[Gambas:Video CNN]



Di Jepang, The Eras Tour disebut CNN menambah pemasukan ekonomi hingga US$229,6 juta. Di Singapura, Channel News Asia menyebut permintaan penerbangan dan akomodasi naik 30 persen di masa pelaksaan The Eras Tour.

Namun tak pernah ada yang tahu, sampai kapan masa kejayaan Taylor Swift ini bertahan. Meski begitu, mengutip lagu Long Live (2010), Taylor Swift paham selama ia masih bersama penggemarnya, segalanya akan sangat mungkin terjadi.

"Will you take a moment? Promise me this, that you'll stand by me forever. But if, God forbid, fate should step in, and force us into a goodbye, if you have children someday, when they point to the pictures, please tell them my name. Tell them how the crowds went wild, tell them how I hope they shine,"

"Long, long live the walls we crashed through. How the kingdom lights shined just for me and you. And I was screaming, 'Long live all the magic we made'. And bring on all the pretenders, I'm not afraid. Singing long live all the mountains we moved, I had the time of my life fighting dragons with you."

Marketing Genius

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat