Review Film: The Boy and the Heron - Halaman 2
Malah menurut saya justru karakter-karakter manusia dalam The Boy and the Heron yang menjadi kelemahannya. Penonton tidak diberikan kesempatan untuk berkenalan lebih dalam dengan karakter manusianya, terutama Shoichi dan Natsuko yang memiliki peran penting dalam kehidupan Mahito.
Sehingga, rasanya tidak heran jika penonton mungkin bingung dengan alasan Mahito dan Natsuko memiliki jarak hingga ibu tiri itu menghilang dari dunia nyata.
Perkembangan karakter Mahito yang dari berduka hingga menerima Natsuko sebagai ibu tirinya itu pun bisa terbilang cukup mendadak.
Sepanjang satu jam durasi film, plot cerita difokuskan pada hubungan Mahito yang berusaha untuk mencari ibunya yang dipandu oleh The Grey Heron dan petualangannya dengan Himi (Aimyon).
Butuh waktu yang lama hingga akhirnya saya bisa menangkap, "Oh, inilah yang berusaha disampaikan film The Boy and the Heron!".
Natsuko (Yoshino Kimura) dan para pembantu rumahnya. (dok. Studio Ghibli via IMDb) |
The Boy and the Heron mampu menceritakan soal duka kehilangan orang yang tersayang akibat kondisi perang dan penerimaan terhadap kehidupan setelah peristiwa tragis itu dengan sangat baik yang digambarkan lewat film coming-of-age.
Untung saja Hayao Miyazaki tidak jadi pensiun usai menciptakan The Boy and the Heron. Menurut saya, The Boy and the Heron memang menjadi salah satu film terbaik produksi Studio Ghibli.
Namun, jika saat itu The Boy and the Heron benar menjadi film terakhir Hayao Miyazaki, tampaknya film ini kurang pas dinobatkan menjadi yang terbaik dari sang sutradara. Karya terbaik Hayao Miyazaki tetap saya nobatkan untuk film lain.
Meski begitu, saya menilai The Boy and the Heron tetap menjadi surat cinta terbaik yang ditulis oleh Hayao Miyazaki dewasa yang diberikan kepada Hayao Miyazaki kecil.
Hayao Miyazaki berani untuk menceritakan masa kecil dan keluarganya yang telah melalui banyak peristiwa, terutama di masa perang, lewat The Boy and the Heron.
[Gambas:Youtube]