yoldash.net

Review Film: Oppenheimer

Christopher Nolan meracik ilmu pengetahuan, perang, dan politik menjadi satu film ciamik berjudul Oppenheimer.
Christopher Nolan meracik ilmu pengetahuan, perang, dan politik menjadi satu film ciamik berjudul Oppenheimer. (Universal Pictures)

Jakarta, Indonesia --

"Prometheus mencuri api dari para Dewa dan memberikannya kepada manusia. Lalu dia dihukum rantai di batu untuk selamanya."

J. Robert Oppenheimer dan para ilmuwan kemudian menerima api dari Prometheus dan menempanya menjadi sebuah senjata mematikan bagi umat manusia.

Premis itulah yang dipakai Christopher Nolan untuk menulis dan menyutradarai film Oppenheimer yang diangkat dari buku yang ditulis oleh Kai Bird dan Martin J. Sherwin, berjudul American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nolan secara cerdik meracik tiga ramuan menjadi satu hidangan: ilmu pengetahuan, perang, dan politik. Hasilnya menjadi satu masakan berdurasi 180 menit yang intens tanpa memberikan penonton jeda untuk bernapas, meskipun akan tetap menikmati hidangannya usai habis disantap.

Alih-alih membuat film biopik yang linear --yang kerap membuat film tentang sejarah jadi membosankan--, Nolan tetaplah Nolan. Ia setia dengan cirinya khasnya dalam membuat film yang kompleks.

Ia bermain dengan alur maju-mundur untuk menceritakan potongan kisah seorang fisikawan menciptakan senjata nuklir pertama di dunia. Ia juga mencampurkan gambar hitam-putih untuk menampilkan sudut pandang yang bukan dari sisi Oppenheimer.

Penonton pertama-tama disuguhkan penampilan Cillian Murphy sebagai Oppenheimer muda yang masih mengemban pendidikan di Cambridge. Oppenheimer tampil acak-acakan. Tidak hanya rambutnya, tapi juga isi otaknya. 



Ketika Niels Bohr menemukan solusi agar Oppenheimer sebaiknya pindah kampus ke Göttingen agar menemukan "musiknya", di sinilah kejeniusan Ludwig Göransson sebagai komposer musik film Oppenheimer muncul.

Adegan Oppenheimer muda mulai "kerasukan" teori fisika ditemani alunan musik dari Göransson yang menghantui untuk mengiringi Oppenheimer dalam mencari harmoninya.

Musik Göransson yang didominasi alat musik gesek bermain terus dengan nada tinggi dan panjang sepanjang film. Kecuali ketika adegan Oppenheimer dan timnya hendak melakukan uji coba nuklir dengan nama Trinity, di situlah Göransson berhenti bermain.

Cillian Murphy sebagai J. Robert Oppenheimer dalam film Oppenheimer. (Universal Pictures)J. Robert Oppenheimer (Cillian Murphy) saat mengawasi uji coba Trinity. (Universal Pictures)

Menghentikan segala jenis suara dan musik dalam adegan klimaks itu merupakan keputusan yang genius. Ditambah dengan keputusan meledakkan bom tanpa bantuan CGI sama sekali, penonton dengan jelas bisa menangkap kengerian dan ketegangan dari peristiwa penting dalam sejarah umat manusia itu.

Dari dua kali saya menonton Oppenheimer, penonton-penonton yang duduk di sebelah saya --dan tentu saja termasuk saya sendiri-- tidak bisa tidak terpukau dengan adegan tersebut.

Namun, klimaksnya tidak berhenti sampai di situ. Masih ada durasi satu jam yang tersisa.

Christopher Nolan menyajikan Oppenheimer sebagai sebuah film yang omong melulu sepanjang tiga jam nonstop. Penonton tidak perlu ikut pusing dengan rumus fisika yang njelimet karena Nolan tampak hanya ingin penonton menangkap esensi dari ocehan Oppenheimer dan kawan-kawan.

Ya, meskipun dengan durasi sepanjang dan plot cerita sepadat itu, tetap saja penonton bakal kewalahan jika meleng barang sedetik. Tidak heran jika banyak dari penonton bakal kembali untuk menonton Oppenheimer untuk kedua kalinya. Karena, setelah meninggalkan bioskop, tentu ada diskusi yang terjadi di antara para penonton.

Lanjut ke sebelah...

Review Film: Oppenheimer

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat