Jakarta, Indonesia --
Matahari sedang terik-teriknya tepat di atas kepala ketika terdengar dentum sound system sember di sebuah gang di Kecamatan Kandanghaur, Indramayu, Jawa Barat. Dengan langkah pasti, kami menyusuri gang itu untuk menyaksikan kesenian masyarakat Indramayu: tarling.
Kami cukup heran ketika menyambangi Kandanghaur pada hari Rabu itu, karena ternyata ada beberapa hajatan yang digelar secara bersamaan di tengah pekan, dalam satu gang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Satu gang ada tiga hajatan sekaligus. Di sebelah sana ada kawinan, terus ada khitanan, dan rasulan," ungkap salah satu warga yang sedang sibuk mempersiapkan pesta.
Rasulan merupakan salah satu tradisi dalam masyarakat Indramayu sebagai bentuk syukur atas kelahiran anak perempuan dalam keluarga mereka.
Namun, tujuan kami ke kampung itu sebenarnya adalah untuk menyaksikan biduan tarling bernama Githa Gusmania yang dinantikan warga untuk memeriahkan pesta-pesta itu. Kali ini ia memilih manggung di acara khitanan.
Githa Gusmania naik ke atas panggung lalu menyapa para tamu setelah dipersilakan oleh MC.
"Mau dibawain lagu apa nih dari Githa?" tanya Githa menggunakan bahasa Dermayon (Indramayuan) kepada para penonton.
Biduan Githa Gusmania dan rekannya bersiap berangkat manggung di sebuah acara syukuran (rasulan) di Indramayu, Jawa Barat, Desember 2022. (Indonesia/Safir Makki) |
Ia pun membawakan lagu tarling populer dengan judul-judul yang unik dan beragam, seperti Midua Cinta, Pecak Welut, hingga Ngadu Bokong.
Githa tidak tampil sendirian di atas panggung. Ia diiringi oleh grup musik yang tampak seperti orkes melayu (OM) pada umumnya, lengkap dengan pemain gitar listrik, bas, keyboard, drum, pemukul simbal, dan pemain kendang.
Fenomena itu menimbulkan satu pertanyaan: bagaimana tarling memiliki penampilan yang serupa dengan orkes dangdut?
Etnomusikolog Aris Setyawan dalam situsnya mendefinisikan bahwa kesenian tarling mulai melebur dengan dangdut berkat naiknya popularitas dangdut pada era 1970-1980-an.
Seorang musisi tarling bernama Udin Zaen bersama grupnya, Kamajaya, menjadi pelopor lahirnya dangdut tarling pada era tersebut. Sub-genre dangdut itu pun segera populer di kalangan penggemarnya di Pulau Jawa.
[Gambas:Video CNN]
Sebelum melebur dengan dangdut, tarling sudah lama hadir di Dermayon-daerah yang meliputi Indramayu, Cirebon, serta wilayah lain di sekitar Priangan Timur, seperti Kuningan, Majalengka, dan Subang.
Namun, berdasarkan penelitian dari Sandra Bader, tarling yang merupakan abreviasi dari gitar dan suling, sudah hadir sejak puluhan tahun sebelumnya lewat tangan seorang musisi bernama Sugra.
"Tarling tumbuh besar di era kolonial Belanda pada 1930-an dan lahir dari tangan Sugra, seorang pemain gitar yang mentransfer skala pentatonik gamelan ke media gitar dan memainkannya secara beriringan dengan suling/seruling," jelas Bader.
Lanjut ke sebelah...
Sesuai dengan definisi yang ditetapkan oleh Bader, gitar dan suling menjadi dua alat musik paling esensial dari tarling. Iringan dari dua alat musik itu kemudian ditimpali dengan vokal yang menyanyikan bait-bait puisi dalam bahasa lokal, baik bahasa Sunda maupun Dermayon.
Hasil penelitian Bader nyatanya juga terlihat dalam penampilan Githa Gusmania dan grup musiknya. Mereka memainkan aransemen yang serupa dengan dangdut pada umumnya, yaitu menyempilkan senggakan dan permainan kendang koplo di tengah lagu.
Peleburan tarling dan koplo itu kini dikenal sebagai "kopling".
Koplo menjadi elemen penting yang disisipkan dalam aransemen tarling dalam bentuk alunan pentatonik gitar dan suling dengan nuansa "nyeret".
Pengamat musik asal Indramayu bernama Galih Nugraha menilai hal tersebut menjadi cara tarling tetap bertahan hidup dengan cara ikut "menumpang" musik yang ada di akar rumput, seperti dangdut dan koplo.
"Tarling bersatu dengan koplo, istilahnya bertahan hidupnya di situ agar dapat tetap menjadi hiburan dan sumber ekonomi," ujar Galih kepada Indonesia.com. "Intinya, sih, bagaimana caranya bisa jualan."
[Gambas:Video CNN]
Para musisi tarling, kata Galih, melihat koplo sebagai potensi ekonomi yang bisa ditiru dan direplikasi. Juga, sekaligus membuktikan bahwa dangdut merupakan musik Indonesia yang cair dan paling luwes.
"Mulai dari hip hop ada, dicampur jazz bisa, apa pun ada di situ (musik dangdut)," ujar Galih memberikan contoh.
Pernyataan Galih senada dengan penjelasan Andrew N. Weintraub dalam sebuah tulisan berjudul The Sound and Spectacle of Dangdut Koplo: Genre and Counter-Genre in East Java, Indonesia (2013).
Weintraub menjelaskan bahwa koplo menjadi musik yang populer di Indonesia setelah lahir di Jawa Timur. Setelah itu, koplo memengaruhi dengan cepat musikalitas musisi dangdut dan musisi tradisional di rongga-rongga Pulau Jawa.
Biduan Githa Gusmania bersama rekannya rehat saat panggung hajatan jebol di sebuah acara syukuran (rasulan) di Indramayu, Jawa Barat, Desember 2022. (Indonesia/Safir Makki) |
"Dangdut koplo adalah kekuatan ekonomi yang penting dalam musik populer Indonesia dan mengalami peningkatan popularitas di kota-kota lain di luar basisnya di Jawa Timur," tulis Weintraub.
Koplo yang merupakan evolusi dari dangdut, kata Weintraub, kemudian meleburkan diri dengan musik tradisional di berbagai daerah. Tak terkecuali dengan tarling di Indramayu dan Cirebon.
"Koplo merupakan bagian dari formasi pan-daerah yang terpisah dari dangdut: koplo telah bercampur dengan bentuk-bentuk di Jawa Tengah (campursari), Jawa Barat (pop Sunda), Banyuwangi (kendang kempul), Cirebon (tarling), dan lain-lain," jelas Weintraub.
Lanjut ke sebelah...
Mencampurkan dangdut koplo dengan musik tradisional ini juga dilakukan oleh Githa Gusmania dan grup musiknya. Bahkan, ia mengaku lebih menikmati tarling yang di-koplo-kan ketimbang "hanya" sekadar tarling.
"Kalau Githa, sih, lebih suka yang koplo, joget-joget gitu," kata Githa sambil berjoget kecil. "Alunan musiknya bikin kitanya juga lebih terbawa suasana."
Githa lebih memilih musik tarling dicampur koplo karena tarling yang murni cenderung lebih kaku dan biasanya digunakan untuk acara resmi, seperti di panggung drama Indramayu.
Tidak hanya membuat orang-orang joget, tapi Githa juga merasa koplo bisa menunjukkan inklusivitas.
"Kalau tarling 'kan lebih resmi gitu ya. Kalau koplo bisa dinikmati buat semuanya," ujar Githa.
Pernyataan Githa itu membuktikan teori Weintraub bahwa dangdut koplo merupakan wadah berekspresi yang lebih bebas karena mampu melakukan pergeseran terhadap batas genre musik lewat permainannya.
Githa Gusmania bukan cuma biduan di atas panggung, ia juga kerap merekam lagu sendiri. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
"Yang dipertaruhkan dalam dangdut koplo sebagai counter-genre (dangdut) adalah kebebasan untuk mengekspresikan diri, menggerakkan tubuh secara bebas, dan merayakan kesenangan yang datang dengan memperluas batas-batas," tulis Weintraub.
Transmisi mulus tarling yang meleburkan diri dengan dangdut koplo ini juga tergambar lewat penulisan lagu.
Tarling tumbuh di Indramayu yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan hingga menjadi pekerja domestik di luar negeri. Maka, tidak heran jika keseharian para pekerja kerah biru itu diceritakan lewat lagu tarling.
Sehingga, tarling menjadi varian yang menjalankan tanggung jawab dangdut koplo di Dermayon. Sebagai perpanjangan suara rakyat.
"Pengalaman mereka disalurkan di dunia yang populer dalam kemasan lirik. Seperti risiko bekerja, nilai lebih atau kurangnya sebagai pekerja di luar negeri," kata Galih.
"Jadi, kupikir itu baru satu cerita tentang bagaimana tarling bisa tetap dekat dengan masyarakat, terutama dari segi ekonomi. Kita enggak bisa lepas dari itu."