yoldash.net

Review Film: Blood Red Sky

Review Red Blood Sky menyebut film ini tak cukup meyakinkan untuk dipertahankan dalam daftar putar film yang mungkin akan ditengok lagi.
Review Red Blood Sky menyebut film ini tak cukup meyakinkan untuk dipertahankan dalam daftar putar film yang mungkin akan ditengok lagi. (dok. Rat Pack Filmproduktion/Sirena Film/Netflix via IMDb)

Jakarta, Indonesia --

Blood Red Sky menjadi film monster-monsteran pertama yang saya tonton pada tahun ini. Namun rasanya saya tak ingin kembali menyaksikan film itu lagi di masa mendatang.

Cerita film ini sebenarnya tak terlalu sulit untuk diikuti. Komposisi dasarnya persis film-film laga garapan Hollywood, sehingga bisa ditebak suatu karakter kira-kira akan memerankan apa dan akan berakhir seperti apa.

Film ini juga tak banyak memiliki plot twist atau jumpscare, komposisi yang biasanya hadir dalam film horor. Memang sejumlah kejutan di film ini tetap ada, namun tidak benar-benar membuat terkejut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi cerita dari film ini tak seutuhnya buruk. Memiliki gagasan menghadirkan vampir yang berusaha sembuh namun kemudian terjebak dalam kondisi apes dan malah menjadi masalah baru, sebenarnya patut diapresiasi.

Apalagi menimbang efek yang digunakan, film ini sebenarnya digarap dengan cukup niat. Mulai dari riasan prostetik, set pesawat, gerakan kamera, efek visual CGI yang cukup smooth, hingga beragam perlengkapan lainnya demi menghasilkan adegan gore --bagi saya yang rapuh akan adegan kekerasan ini-- terasa meyakinkan.

Namun sayangnya hingga dua jam satu menit berlalu, Blood Red Sky tak cukup meyakinkan saya untuk mempertahankan film tersebut dalam daftar putar film yang mungkin akan saya tengok di kemudian hari.

Sebelum lebih jauh, sinopsis Blood Red Sky bisa dilihat di sini.

Film Blood Red Sky (2021)Review Red Blood Sky menyebut film ini tak cukup meyakinkan untuk dipertahankan dalam daftar putar film yang mungkin akan ditengok lagi. (dok. Rat Pack Filmproduktion/Sirena Film/Netflix via IMDb)

Hal paling awal yang membuat saya merasa film ini tak cukup menjanjikan untuk ditonton lagi adalah konsep ceritanya yang sejenis dengan Train to Busan (2016).

Adegan yang membuat saya serasa flashback ke Train to Busan adalah ketika Nadja (Peri Baumeister) yang sudah berbentuk vampir berusaha menyelamatkan anaknya, Elias (Carl Anton Koch), di dalam pesawat yang sempit.

Meski tidak persis sama, ketegangan serta tantangan yang muncul dalam cerita itu mirip dengan aksi Gong Yoo menggendong Kim Su-an dari gerbong ke gerbong kala kabur dari zombi.

Memang dua film ini menggunakan jenis monster yang berbeda, namun kedua jenis makhluk tersebut sama-sama mengincar darah. Orang yang tergigit pun bisa terinfeksi dan ikut menjadi monster.

Panggung utama tempat segala kehebohan bin kepanikan sepanjang film pun sama-sama berupa kendaraan yang tidak memungkinkan berhenti di tengah perjalanan.

Meskipun, dalam Train to Busan, kereta penuh zombi itu sempat berhenti di Stasiun Daejeon. Namun kisah kembali lagi ke atas kereta sembari kejar-kejaran dengan zombi.

Dalam Blood Red Sky, panggung berada di dalam pesawat lengkap dengan berbagai lorong dan ruangan dalam pesawat. Para penumpang yang dikisahkan tersandera pembajak ini pun mesti berusaha bertahan hidup dari kejaran pembajak yang psikopat dan vampir yang hilir mudik.

Kesamaan konsep ini membuat benak saya dengan mudah membandingkan dua film tersebut. Kedua film ini sama-sama membuat saya emosi. Bedanya, Train to Busan membuat saya geregetan hingga panik dan emosional, namun Blood Red Sky lebih banyak membuat saya memaki.

Hal yang membuat saya begitu kesal atas film ini adalah kemunculan si bocah bernama Elias.

Review Blood Red Sky masih lanjut ke sebelah...

Review Film: Blood Red Sky - Bagian 2

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat