Jakarta, Indonesia --
Blood Red Sky menjadi film monster-monsteran pertama yang saya tonton pada tahun ini. Namun rasanya saya tak ingin kembali menyaksikan film itu lagi di masa mendatang.
Cerita film ini sebenarnya tak terlalu sulit untuk diikuti. Komposisi dasarnya persis film-film laga garapan Hollywood, sehingga bisa ditebak suatu karakter kira-kira akan memerankan apa dan akan berakhir seperti apa.
Film ini juga tak banyak memiliki plot twist atau jumpscare, komposisi yang biasanya hadir dalam film horor. Memang sejumlah kejutan di film ini tetap ada, namun tidak benar-benar membuat terkejut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi cerita dari film ini tak seutuhnya buruk. Memiliki gagasan menghadirkan vampir yang berusaha sembuh namun kemudian terjebak dalam kondisi apes dan malah menjadi masalah baru, sebenarnya patut diapresiasi.
Apalagi menimbang efek yang digunakan, film ini sebenarnya digarap dengan cukup niat. Mulai dari riasan prostetik, set pesawat, gerakan kamera, efek visual CGI yang cukup smooth, hingga beragam perlengkapan lainnya demi menghasilkan adegan gore --bagi saya yang rapuh akan adegan kekerasan ini-- terasa meyakinkan.
Namun sayangnya hingga dua jam satu menit berlalu, Blood Red Sky tak cukup meyakinkan saya untuk mempertahankan film tersebut dalam daftar putar film yang mungkin akan saya tengok di kemudian hari.
Sebelum lebih jauh, sinopsis Blood Red Sky bisa dilihat di sini.
 Review Red Blood Sky menyebut film ini tak cukup meyakinkan untuk dipertahankan dalam daftar putar film yang mungkin akan ditengok lagi. (dok. Rat Pack Filmproduktion/Sirena Film/Netflix via IMDb) |
Hal paling awal yang membuat saya merasa film ini tak cukup menjanjikan untuk ditonton lagi adalah konsep ceritanya yang sejenis dengan Train to Busan (2016).
Adegan yang membuat saya serasa flashback ke Train to Busan adalah ketika Nadja (Peri Baumeister) yang sudah berbentuk vampir berusaha menyelamatkan anaknya, Elias (Carl Anton Koch), di dalam pesawat yang sempit.
Meski tidak persis sama, ketegangan serta tantangan yang muncul dalam cerita itu mirip dengan aksi Gong Yoo menggendong Kim Su-an dari gerbong ke gerbong kala kabur dari zombi.
Memang dua film ini menggunakan jenis monster yang berbeda, namun kedua jenis makhluk tersebut sama-sama mengincar darah. Orang yang tergigit pun bisa terinfeksi dan ikut menjadi monster.
Panggung utama tempat segala kehebohan bin kepanikan sepanjang film pun sama-sama berupa kendaraan yang tidak memungkinkan berhenti di tengah perjalanan.
Meskipun, dalam Train to Busan, kereta penuh zombi itu sempat berhenti di Stasiun Daejeon. Namun kisah kembali lagi ke atas kereta sembari kejar-kejaran dengan zombi.
Dalam Blood Red Sky, panggung berada di dalam pesawat lengkap dengan berbagai lorong dan ruangan dalam pesawat. Para penumpang yang dikisahkan tersandera pembajak ini pun mesti berusaha bertahan hidup dari kejaran pembajak yang psikopat dan vampir yang hilir mudik.
Kesamaan konsep ini membuat benak saya dengan mudah membandingkan dua film tersebut. Kedua film ini sama-sama membuat saya emosi. Bedanya, Train to Busan membuat saya geregetan hingga panik dan emosional, namun Blood Red Sky lebih banyak membuat saya memaki.
Hal yang membuat saya begitu kesal atas film ini adalah kemunculan si bocah bernama Elias.
Review Blood Red Sky masih lanjut ke sebelah...
Maaf saja. Di balik tampang yang polos dan akting Carl Anton Koch yang luar biasa untuk bocah belum puber, keberadaan Elias sebenarnya merepotkan dan membuat situasi semakin kacau.
Ia hanya hilir mudik ketakutan memanggil ibunya, yang mana membuat situasi semakin sulit, dan membantu ibunya yang sudah jadi vampir pun tak bisa karena ia masih bocah. Walaupun penulis Peter Thorwarth dan Stefan Holtz mempersiapkan peran khusus untuk bocah tersebut, namun tetap saja bikin kesal.
Namun di situlah aspek pintar dari film ini. Elias adalah satu-satunya sosok yang mampu menyeret emosi penonton untuk masuk ke dalam film dan merasakan degup adrenalin ceritanya, terlepas apakah ada penonton yang terkesan atau justru kesal seperti saya.
 Review Film Blood Red Sky (2021) menyebut di balik tampang yang polos dan akting Carl Anton Koch yang luar biasa untuk bocah belum puber, keberadaan Elias sebenarnya merepotkan dan membuat situasi semakin kacau. (dok. Rat Pack Filmproduktion/Sirena Film/Netflix via IMDb) |
Saya memang kesal saat melihat beragam aksi dalam film ini, namun saya juga cukup menikmati film ini meski berisi beragam adegan kekerasan yang membuat orang seperti saya memejamkan mata secara refleks. Saya terbawa oleh ceritanya yang klise, entah karena saya rindu akan film 'receh' atau karena kemampuan film ini membawa saya ke dalam ceritanya.
Kesamaan konsep dengan Train to Busan namun memiliki after-taste yang jauh berbeda itulah yang membuat saya yakin tak akan memilih film ini, setidaknya hingga saya lupa bahwa saya pernah menyaksikan film ini.
Efek Train to Busan yang sungguh membuat jantung berdegup cepat namun bisa membuat menyentuh rasa kemanusiaan itulah yang tak bisa diikuti Blood Red Sky. Meski film garapan Peter Thorwarth ini sudah menampilkan berbagai drama penyanderaan, pengorbanan ibu-anak, hingga kenangan asmara.
Terlepas dari keengganan saya kembali melihat film ini di kemudian hari, saya memberikan nilai tambah atas sejumlah isu yang coba disinggung dalam Blood Red Sky.
Beragam isu tersebut seperti rekayasa pelaku pembajakan, ketika pembajak sesungguhnya justru memaksa penumpang muslim untuk membacakan pernyataan aksi pembajakan yang akan dipublikasikan.
Hal itu seolah menyinggung stigma bahwasanya aksi terorisme selalu dikaitkan dengan muslim, yang mana memicu islamofobia di tengah-tengah masyarakat Barat.
[Gambas:Youtube]
Selain itu, ada pula beragam konspirasi yang mencengkeram benak masyarakat dan mengaburkan fakta yang sebenarnya. Hal ini terlihat ketika para penumpang panik dengan aksi pembajakan pesawat dan mereka mulai berspekulasi, mulai dari dari masalah saham hingga pemilu. Padahal aslinya pembajak hanya ingin uang.
Belum lagi tingkah para penumpang pesawat yang amat beragam, mulai dari biasa saja hingga tengil minta ditonjok. Ragam kisah yang biasanya kita ketahui dari berbagai forum di internet.
Namun tetap saja, segala sisipan dan bumbu cerita tersebut tak bisa membuat saya merasa film ini masuk dalam "daftar tengok kembali". Masih ada film serupa yang lebih bagus dan sama tegangnya tanpa harus membuat saya merasa heran ketika daftar kredit masuk ke dalam layar.
Blood Red Sky tayang 23 Juli 2021 di Netflix.