yoldash.net

Joey Alexander yang Mendua, antara New York dan Bali

New York dan Bali selalu menjadi inspirasi bagi Joey Alexander dalam menciptakan karya-karyanya sebagai pianis belia yang jenius.
New York dan Bali selalu menginspirasi Joey Alexander. (AFP/PASCAL POCHARD-CASABIANCA)

Jakarta, Indonesia --

Pandemi Covid-19 tak menyurutkan tekad Joey Alexander pulang ke kampung halamannya di Bali.

Desember tahun lalu Joey memuaskan kerinduannya di Pulau Dewata. Bukan hanya itu, ia juga menggelar konser amal di salah satu hotel di Bali.

Niatnya untuk membantu memantik kembali geliat pariwisata di Bali. Selama pandemi, tak banyak kesibukannya untuk menggelar konser.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pianis muda jenius itu punya kesan spesial tentang Bali meski kini memilih New York sebagai rumahnya. Joey tentu tak bisa memilih salah satunya.

Hatinya tetap mendua antara New York dan Bali, dua tempat yang kerap membawa inspirasi dalam karya-karyanya sebagai seorang pianis.

"Bali sama menginspirasinya bagi saya dengan New York dalam cara yang amat berbeda. Bali selalu ada dalam diri saya ketika menciptakan musik," kata Joey kepada Indonesia.com.

Gif Rekomendasi Drama Korea (Drakor)

Joey pun mengungkapkan kebahagiannya saat kembali ke Bali dan membuat konser amal di sana di tengah pandemi Covid-19.

"Tentu sebuah kesempatan luar biasa bisa berbagi musik dengan orang-orang yang sudah lama menanti konser live. Senang sekali kembali terkoneksi dengan para musisi yang pernah bermain dengan saya bertahun-tahun lalu dan melakukan konser amal," terang Joey.

Ada dua hal yang selalu menggelayut dalam benak Joey soal Indonesia, khususnya Bali: makanan dan keluarga. Baginya, dua hal tersebut yang selalu mengingatkannya akan kampung halaman meski kini menjalin karier di Amerika Serikat.

Joey pernah mencuri perhatian di dunia musik lokal dan internasional pada Grammy Award 2017. Ia masuk nominasi ajang penghargaan musik di Amerika Serikat (AS) untuk sebanyak tiga kali.

Ia masuk dalam nominasi Best Improvised jazz Solo, bersaing dengan musisi-musisi jazz senior, antara lain Ravi Coltrane (In Movement), Fred Hersch (We See), Brad Mehldau (I Concentrate On You), dan John Scofield (I'm So Lonesome I Could Cry). Saat itu ia masih 13 tahun.

Dia kali pertama masuk nominasi Grammy Awards pada 2016 di kategori Best Improvised Jazz Solo dan Best Jazz Instrumental Album. Kala itu Joey usianya baru 13. Sukses itu pun sempat membuat publik Indonesia riuh atas prestasi sang bocah jenius, meski sebatas nominasi.

Di usia 12, Joey bahkan sudah membuat album untuk instrumental piano: My Favorite Thins. Sangat jarang bocah di usianya itu mampu membuat karya yang begitu apik.

Total sudah lima album yang pernah ia ciptakan. Di antaranya adalah My Favorite Things (2015), Countdown (2016), Joey.Monk.Live (2017), Eclipse (2018), dan Warna (2020).

Khusus untuk album terakhir, Joey mengungkapkan cerita di balik satu-satunya karya yang berjudul Indonesia tersebut.

"Saya biasanya menamakan album berdasarkan lagu-lagu atau komposisi asli saya di album Live, Joey.Monk.Live. Jadi ini bukan soal album bahasa Inggris atau Indonesia."

"Warna merupakan karya yang saya tulis yang menceritakan tentang kepribadian, suara, dan gaya seorang pemusik yang bermain dengan saya. Saya mencoba musik dan gaya kompisisi yang beda seperti Tis Our Prayer dan The Light," kata Joey.

Jalan kariernya masih amat panjang bagi Joey. Tentu masih banyak pencapaian yang ingin ia kejar sebagai salah satu pianis belia kenamaan di dunia.

(bac/bac)


[Gambas:Video CNN]

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat