Ilustrasi. Pernikahan jarak jauh tak selalu buruk. (Basith Subastian/CNNIndonesia)
Jakarta, Indonesia --
Kalau pernikahanbisa dijalankan dari jarak jauh, mengapa tidak? Lagi pula, di zaman yang serba edan ini, sulit rasanya untuk mencapai kehidupan yang sempurna.
Nama saya Runi. Sudah hampir dua tahun ke belakang, saya menjalani pernikahan jarak jauh alias long distance marriage bersama suami tercinta, Baki. Banyak orang mempertanyakan konsep pernikahan jarak jauh yang kami jalani.
Kenyang betul dengan ungkapan-ungkapan skeptis di atas. Tapi sejauh ini, kami baik-baik saja. Tak ada masalah berarti terkait jarak atau keintiman. Justru, jujur saja, kami menikmatinya.
Gara-garanya adalah pekerjaan. Di bulan kedelapan pernikahan, saya mendapatkan tawaran kerja di Jakarta. Sementara Baki sudah kadung nyaman bekerja di Bandung. Mengapa harus kami korbankan kesempatan yang datang?
Lagi pula, di tengah zaman yang serba edan ini, mendapatkan pekerjaan yang pas bukan perkara mudah. Apalagi kebutuhan hidup terus merongrong seiring berjalannya waktu.
"Dijemput jam berapa?" tanya Baki, yang menunggu kedatangan saya di Kota Kembang.
Setibanya di gerbang Stasiun Bandung, wajah ini tiba-tiba semringah melihat ekspresi cengengesan Baki di depan sana. Ah, itu dia, suamiku! Begitu ujarku dalam hati. Kudekati dia dan kutepuk pipi bayinya.
Ibarat ritual, dari sana kami selalu pergi mencari makan, saling bercerita, dan melepas rindu yang tak diucapkan selama terpisah jarak. Toh, rindu tak selalu harus diucapkan bukan? Rasa rindu bisa terlihat dengan sendirinya saat kedua orang bertemu setelah lama tak berjumpa lewat telinga yang setia mendengarkan dan mulut yang tak henti-hentinya bercerita, atau sentuhan-sentuhan kecil yang manis.
Ilustrasi. Tak semua pernikahan jarak jauh berlangsung buruk. (iStock/PeopleImages)
Kami berkenalan pertama kali pada 2019 lalu. Rambut poni acak-acakan, kacamata tebal, dan jam tangan berwarna pink-kuning yang menggemaskan adalah tiga hal yang bikin saya kepincut pada Baki pertama kali. Gemas betul! Belum lagi tingkahnya yang selalu konyol, kekanak-kanakan dan tak disangka-sangka, semakin membuat saya meleleh karena gemas.
Dari perkenalan itu, kami berlanjut ke hubungan romantis hingga akhirnya memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius pada 2021 lalu.
"Aku dapat kerja di Jakarta," ujar saya pada Baki pada pertengahan 2021 lalu. Kabar bahagia itu masuk melalui surat elektronik. Baki berteriak kencang memberikan ucapan selamat.
Memang, tepat satu bulan sebelum menikah, saya memutuskan untuk 'beristirahat' terlebih dahulu setelah bertahun-tahun menjadi pekerja kelas menengah ngehe ibu kota.
Baki tak pikir panjang. Ia memberi saya lampu hijau untuk kembali ke Jakarta. Konsekuensi hidup terpisah tentu menjadi diskusi utama. Saya tak masalah, Baki pun oke-oke saja.
Kami menikah, tapi tidur di tempat yang terpisah. Saya di Jakarta, Baki di Bandung. Saya tidur di ranjang milik ibu kos, Baki tidur di ranjang yang kami beli bersama. Saya tidur di kamar dengan dinding berpulas biru muda, sementara Baki tidur di kamar dengan dinding berpulas abu-abu.
Tak ada belaian atau kecupan mesra sebelum tidur. Yang ada hanya guling yang siap untuk dipeluk setelah sebelumnya asyik berbincang di telepon tentang kesibukan masing-masing hari itu.
Begitulah kami sehari-hari.
Beruntung, kantor tempat kami bekerja sama-sama memberi izin untuk sesekali bekerja dari jarak jauh. Jadi, selain akhir pekan jika tak ada pekerjaan, sesekali Baki menyusul dan bekerja di Jakarta selama beberapa waktu, begitu pula saya yang bekerja dari Bandung. Kondisi ini sudah kami jalani hampir dua tahun lamanya.
Simak cerita selanjutnya di halaman berikutnya..
"Emangnya lo enggak pengen bikinin suami teh atau kopi sehabis pulang kerja gitu?" tanya Piko, seorang teman. Dia adalah salah satu teman yang paling meragukan keputusan saya untuk menjalani pernikahan jarak jauh. Berkali-kali ia menyarankan saya untuk resign dari kantor dan pulang ke Bandung menemani suami.
Dahi saya berkerut, berusaha mencerna apa yang ditanyakan Piko.
Dengan asal-asalan, saya menjawab, "Dia [suami saya] udah gede, bisa bikin minumannya sendiri."
Piko kembali berargumen. Baginya, pernikahan jarak jauh bisa membuat hubungan emosional suami-istri jadi tidak kuat. Bagaimana bisa tetap intim tanpa peluk dan cium mesra hampir setiap hari? Begitu kiranya yang dipikirkan Piko.
Saya cukup mendengarkan dan mengangguk-angguk. Maklum, saya cinta damai, malas berdebat untuk hal-hal yang sifatnya sudah saya yakini betul. Saya biarkan saja Piko menyerocos berceramah soal hubungan suami istri sambil kemudian melengos pamit pergi.
Saya tak menyangsikan isi 'ceramah' Piko. Tapi tentu itu tak bisa digeneralisir. Manusia itu unik, tak bisa semua kasus disamaratakan.
Percayalah, hubungan jarak jauh bisa membuat kita lebih sehat. Setidaknya bagi saya dan Baki. Kami bisa meminimalisasi pertengkaran karena hal-hal yang terlalu sepele.
Saya selalu mengamuk tiap kali Baki melakukan hal-hal sepele seperti menyimpan barang sembarangan. Saya juga kerap mendumel dalam hati setiap kali melihat Baki yang seharian hanya bermalas-malasan asyik dengan ponselnya di waktu libur. Baki juga sama, marah kalau saya agak rewel saat ia sedang asyik kongko bersama teman-temannya.
Sering kali hal-hal sepele itu memanjang ke pertengkaran yang lebih besar namun sebenarnya tak kontekstual. Pertengkaran yang tujuannya memuaskan emosi semata, tapi tak prinsipil dan bikin lelah.
Saat kami terpisah jarak, praktis pertengkaran-pertengkaran sepele itu tak terjadi lagi. Sungguh, hal itu cukup mengurangi keruwetan dalam kepala.
Alih-alih meributkan hal-hal sepele, terpisah jarak membuat kami menghargai waktu berkualitas saat sedang bersama di satu kota.
Ilustrasi. Dalam beberapa kasus, pernikahan jarak jauh bisa lebih menyehatkan. (istockphoto/AsiaVision)
Ada faktor yang sebenarnya cukup kuat untuk dijadikan alasan saya kembali bekerja di Jakarta. EKONOMI!
Kehidupan di zaman kiwari semakin gila. Entah apa masalahnya, tapi rasanya sulit jadi pasangan suami-istri di zaman sekarang.
Kita dibombardir oleh berbagai pilihan gaya hidup yang butuh kocek besar. Cicilan rumah, biaya sehari-hari, ongkos gaya hidup, belum lagi biaya pendidikan anak jika dikaruniai buah hati kelak. Alamak! Tak sanggup saya membayangkannya.
Mengandalkan suami saja untuk semua kebutuhan rasanya sulit di zaman kiwari. Lagi pula, bukankah pernikahan adalah kerja sama antara suami dan istri? Kerja sama dalam berbagai hal, termasuk urusan ekonomi.
"Kak, kalau bisa nanti setelah nikah, kakak kerja lagi ya. Sebagai perempuan, kalau bisa kita bantu juga suami menghidupi keluarga," ujar ibu, sebelum saya menikah.
Saya tersenyum, mengiyakan dalam hati. Saya juga berprinsip untuk tetap bekerja dan tak akan membebankan semuanya pada suami. Saya percaya pada konsep kerja sama antara suami dan istri.
Tapi sayangnya, pekerjaan di Bandung agak sulit didapat dan kurang menjanjikan. Jujur saja, alasannya adalah ekonomi. Tak apa jika kau mau menyebut saya materialistis. Saya pikir itu wajar-wajar saja di tengah bombardir tuntunan hidup masa kini yang semakin edan.
Bukannya saya memandang sebelah mata perempuan yang menjadi ibu rumah tangga. Itu juga sah-sah saja selama menjadi kesepakatan bersama, karena menjadi ibu rumah tangga juga tugas yang berat. Toh, setiap perempuan berhak punya pilihan. Termasuk untuk menyumbangkan tenaga ikut menafkahi keluarga, yang menjadi pilihan saya saat ini.
Jika kelak kami dikaruniai anak, mungkin ceritanya akan berbeda, atau bisa jadi tetap sama. Kompromi pasti dibutuhkan. Tapi sementara ini, kami jalani saja dulu dengan santai.
Lagi pula, terpisah jarak juga memberikan ruang untuk masing-masing dari kami. Saya percaya, sekalipun telah sah menjadi suami istri, tetap ada ruang-ruang khusus yang sifatnya milik pribadi.
Tanpa 24/7, kami bisa menjalani dan menikmati hidup yang masing-masing kami inginkan. Di waktu yang sama, kami juga bisa menjaga keintiman dan hubungan emosional yang terbangun. Kuncinya cuma satu: saling percaya.