Bahayakah Utang Jatuh Tempo Rp800 T di Awal Pemerintahan Prabowo?
Utang jatuh tempo pemerintah pusat mencapai Rp800 triliun pada tahun depan atau tahun pertama pemerintahan Prabowo. Jumlah ini terdiri terdiri dari Rp705,5 triliun Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp94,83 triliun pinjaman.
Artinya, pada awal tahun pemerintahannya, presiden terpilih Prabowo Subianto harus membayar utang yang sangat tinggi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan utang jatuh tempo itu tidak masalah selama persepsi APBN, kondisi ekonomi, dan keadaan politik Indonesia tetap terjaga.
"Itu tidak menjadi masalah selama persepsi terhadap APBN, kebijakan fiskal, ekonomi, dan tentu politik tetap sama," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI, Kamis (6/6).
Sedangkan, pada tahun ini utang jatuh tempo pemerintah pusat sekitar Rp673,16 triliun, di mana per 30 April yang harus dibayarkan Rp434,29 triliun yang terdiri dari SBN Rp371,8 triliun dan pinjaman Rp62,49 triliun.
Lalu, berbahayakah utang jatuh tempo mencapai Rp800 triliun di awal pemerintahan Prabowo?
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeudalam lima tahun terakhir, utang jatuh tempo pada 2025 cukup tinggi:
- 2019 sebesar Rp562,396 triliun
- 2020 sebesarRp456,504 triliun.
- 2021 sebesar Rp558,883 triliun
- 2022 sebesar Rp519,845 triliun
- 2023 sebesar Rp624,31 triliun dan sampai saat ini terus bertambah.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan apabila melihat kondisi fiskal Indonesia, jumlah utang jatuh tempo pada tahun depan tidak terlalu berbahaya.
Sebab, ekonomi dalam negeri termasuk kuat jika dibandingkan negara lain. Bahkan di tengah pandemi, masih mampu tumbuh dan pulih dengan cukup cepat.
"Namun jika dibilang wajar, saya kira bisa dikatakan tak wajar, karena selama ini tagihan toh tidak sebesar itu," ujarnya kepada Indonesia.com.
Menurut Ronny, jumlah utang jatuh tempo bertambah seiring dengan bertambahnya utang yang fantastis selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Utang pemerintah pusat mencapai Rp8.338 triliun per April 2024. Angka ini jauh lebih tinggi dari posisi per akhir Desember 2014 yang hanya sebesar Rp2.608,78 triliun. Artinya, selama hampir 10 tahun pemerintahan Jokowi hingga April 2024, jumlah utang melonjak sebesar Rp5.724 triliun.
"Hal ini bisa terjadi karena memang pembesaran utang kita berlangsung dalam waktu cepat, kurang dari 10 tahun, sehingga di tahun terakhir pemerintahan Jokowi, nominal tagihannya terasa sangat besar," jelasnya.
Besarnya tagihan utang di 2025 pasti sangat mengganggu program Prabowo. Pasalnya, dari seluruh anggaran belanja APBN, sekitar 60 persen dipakai untuk biaya rutin dan operasional. Artinya, hanya 40 persen belanja APBN yang bisa diotak-atik oleh Prabowo untuk mewujudkan janjinya. Itu pun termasuk untuk membayar bunga utang.
"Inilah risiko utang yang besar. Anggaran untuk rakyat akan terpangkas secara perlahan, sehingga membuat kemampuan negara dalam membangun menjadi berkurang," terangnya.
Menurutnya, jika Prabowo ingin tetap program-programnya yang berbiaya besar, seperti makan siang dan susu gratis dijalankan, maka hanya ada tiga pilihan yang bisa dilakukan.
Pertama, harus menekan biaya rutin. Namun, pilihan ini dinilai sangat kecil bisa dilakukan karena mengurangi anggaran rutin akan mengubah banyak kebijakan. Kedua, menaikkan pendapatan negara lebih tinggi lagi. Namun, pilihan ini kemungkinan juga sangat kecil potensinya bisa dilakukan dalam keadaan serba sulit.
"Dalam keadaan serba sulit saat ini pemerintah semestinya justru melakukan relaksasi, sehingga akan mengurangi pendapatan," imbuh Ronny.
Ketiga, menambah pemasukan negara dari utang atau penerbitan surat utang dalam jumlah yang besar. Risikonya, ke depan APBN akan semakin besar terserap membayari utang dan bunganya.
"Jika pemerintah baru mengambil opsi terakhir, maka harus benar-benar dipastikan dibelanjakan secara efektif dan produktif, agar mendorong pertumbuhan lebih tinggi, sehingga bisa menghasilkan penerimaan negara lebih tinggi di satu sisi dan bisa menekan ratio utang terhadap PDB di sisi lain," jelas Ronny.
Lanjut ke halaman selanjutnya...