Yongki Komaladi Sebut Masalah Industri Sepatu Tak Hanya Dialami Bata
Yongki Komaladi, pemilik brand sepatu lokal Yongki Komaladi, menyebut masalah industri alas kaki tak hanya dialami oleh PT Sepatu Bata Tbk.
Menurutnya, tak sedikit UMKM di industri tersebut yang juga menghadapi banyak tantangan.
Pernyataan ini ia sampaikan menyusul penutupan pabrik Sepatu Bata di Purwakarta, Jawa Barat, pada 30 April lalu karena terus merugi. Penutupan itu diketahui berimbas pada pemutusan hubungan kerja (PHK) 233 karyawan.
Salah satu tantangan yang dihadapi perusahaan industri alas kaki meliputi bahan baku hingga pasar yang diserbu produk impor, sehingga membutuhkan dukungan regulasi pemerintah.
Lihat Juga : |
"Saya merasa sayang sekali kalau UMKM yang sangat mengandalkan jual di lokal, pasti jauh lebih susah lagi dibandingkan Bata. Ini juga menjadi PR kita bersama bahwa apakah ini industri yang cukup punya kepadatan tenaga kerja yang luar biasa, harus dipikirkan. Perusahaan besar pasti punya strategi-strategi tertentu," kata Yongki, Rabu (15/5), mengutip CNBC Indonesia.
Ia menekankan pentingnya memikirkan bersama bagaimana cara mengatasi fenomena maraknya penutupan pabrik. Bukan hanya dilihat dari sebab atau akibatnya saja, melainkan dipikirkan bagaimana caranya menyiasati agar kejadian yang sama tidak terulang pada UMKM.
Yongki memprediksi bahwa kondisi ini ada kemungkinan berlanjut ke merek lainnya, tidak hanya Sepatu Bata. Sebab, saat ini sudah banyak sekali UMKM yang teriak 'tidak sanggup' menjalankan bisnisnya. Mereka merasa tidak terfasilitasi dan didukung oleh pemerintah.
"Contohnya, banyak UMKM yang ingin membranding produknya tapi kalah dengan brand-brand dari luar negeri. Kenapa gak difasilitasi masuk ke mal atau dept store. Tidak hanya pameran yang hanya seminggu, tapi dikasih tempat di mal-mal, kan bisa bekerja sama dengan pusat perbelanjaan. Supaya produk lokal sendiri dicintai," tegas dia.
"Saya lihat mal-mal hanya memberikan tempat untuk brand-brand yang ternama, sedangkan UMKM juga padat karya yang mesti didukung. Jadi harus dipikirkan kesinambungan selama mereka menjadi produksi lokal yang seharusnya dicintai dan dikenal ke negara lain," imbuhnya lebih lanjut.
Bukan tanpa alasan, hal itu lantaran dia melihat sendiri banyak brand lokal yang belum terkenal, yang akhirnya tidak bisa melanjutkan produksi karena tidak menerima banyak dukungan.
Kendati demikian, Yongki tetap mengingatkan kepada pelaku UMKM untuk merubah pola berpikirnya. Jika sebelumnya berpikir hanya menunggu kesempatan, sekarang mereka harus berpikir bagaimana caranya menjemput kesempatan tersebut.
"Jangan hanya nunggu bola, harus jemput bolanya. Dirubah bagaimana pola pikir mereka sehari-hari. Mereka harus punya wadah yang bisa membentuk pribadi mereka berubah dengan keadaan zaman yang begitu keras dan tidak cukup welcome semua orang bisa masuk," pungkasnya.
Lebih lanjut, Yongki juga mengungkapkan sejumlah tantangan memang dihadapi industri alas kaki di RI. Tantangan mulai dari persoalan bahan baku yang masih banyak impor, hingga permasalahan tenaga kerja dan kebijakan pemerintah.
"Menurut saya, bahan baku itu salah satu hal yang susah didapat kalau di produksi lokal. Hampir 90 persen memang produk dari luar, utamanya China," tutur Yongki.
"Tapi kalau mengenai Bata, setahu saya Bata juga impor barang-barang dari seluruh negara yang mereka punya asosiasi sendiri, dari Malaysia, India, Singapura, mereka saling berbagi cerita dan mereka bisa membeli barang-barang dari luar," sambungnya.
Menurutnya, perlu dilihat pula dari sisi tenaga kerjanya, apakah tenaga kerja di Tanah Air cukup potensial dibandingkan negara lain.
"Dan bagaimana mengenai kebijakan juga yang harus dipikirkan, karena sekarang ini kita boleh dibilang 70 persen rata-rata produk itu bahan dari luar, tenaga kerjanya pun potensial sebesar apa, apakah seprofesional di negara lain. Hal-hal itu menjadi sesuatu yang harus mereka pikirkan kembali efisiensi dan segala macamnya," jelas Yongki.
(del/pta)